Ngekrest blogspot.com
-

Jumat, 04 Juni 2010

shalat dua bahasa

 

BAB I

PENDAHULUAN

            Dengan menyebut asma Allah yang maha kuasa, yang telah memberikan kekuatan kepada kita dan keridlaan sehingga kita dapat bersama-sama mengkaji lebih dalam tentang hukum islam. Dalam pembahasan kali ini kami akan berusaha membahas sedikit mengenai shalat dua bahasa yang akhir-akhir ini marak diperbincangkan di kalangan umat islam.

Perihal shalat bilingual ini, terdapat kontroversi antara boleh dan tidaknya melaksanakan shalat dengan menggunakan dua bahasa, khususnya dengan menggunakan bahasa Indonesia bagi umat islam yang berada di Negara kita ini. Shalat dengan dua bahasa, dimaksudkan untuk menambah  keseriusan kita dalam melaksanakan salah satu ibadah mahdlah umat islam yaitu shalat.

Kontroversi shalat dua bahasa semakin heboh saat Muhammad Yusman Roy, pemimmpin pesantren Iktikaf Ngaji, Lelaku, Malang, mengeluarkan hasil ijtihadnya perihal shalat dengan bahasa Indonesia. Namun  inisiatifnya ini ditolak mentah-mentah oleh bupati Malang, dengan memerintah untuk menutup pesantren itu. Kemudian polisi mengamankannya dan mengajukannya kepengadilan dengan alasan penghinaan terhadap ajaran agama Islam[1].

Majelis Ulama’ Indonesia juga mengeluarkan larangan melaksanakan shalat dengan dua bahasa, namun Ketua Umum DPP PKB waktu itu, KH Abdurrahman Wahid, Alm ( Gus Dur ) menilai tindakan majelis Ulama’ Indonesia ( MUI ) jawa timur gegabah, karena mengeluarkan larangan tanpa adanya pengkajian terlebih dahulu[2]. Hal ini bukan berarti bahwa Gus Dur, Alm membolehkan pelaksanaan shalat dengan dua bahasa, hal ini menunjukkan prinsip beliau yang tidak merasa benar sendiri, namun beliau masih membuka kemungkinan bahwa hasil ijtihad orang lain belum tentu salah sehingga beliau masih melakukan pertimbangan-pertimbangan dalam menerima berbagai pendapat baru yang muncul.

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

A. Dalil-dalil larangan shalat dua bahasa

œ Hadits Nabi SAW riwayat Imam bukhori :

 

ﻗال ڕﺳول اﷲ ص.ﻢ : صلوكماڕٲﻴټمونى ٲصلى  

Artinya : “Rasulullah SAW bersabda : Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat “ (HR. Bukhori)

œ Rasulullah SAW juga bersabda :

( رواهﻤﺴﻠﻡ )من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد

Artinya : “barang siapa yang mengerjakan sebuah amal perbuatan yang tidak ada contohnya dari kami, maka dia itu tertolak” (HR. Muslim : 1718 )

œ Hadits Nabi yang artinya :

“Dari Sa’id bin Musayyib bahwasannya beliau melihat seseorang mengerjakan sholat setelah adzan subuh lebih dari dua rokaat, dia banyak rukuk dan sujud, maka Sa’id melarangnya.

Lalu dia berkata :“Wahai Abu Muhammad, apakah Alloh akan mengadzab saya karena saya mengerjakan sholat?

maka Sa’id menjawab :“Tidak, tapi Alloh akan mengadzabmu karena engkau menyelisihi sunnah Rosululloh.” (HR. Baihaqi dalam 2/466, Ad Darimi 1/116 dengan sanad shohih)

œ Sabda Rosululloh, Dari Ubadah bin Shomit berkata :

Rosululloh bersabda : “Tidak sah sholat seseorang bagi yang tidak membaca surat Al Fatihah.”(HR. Bukhori 756, Muslim 394)

œ Rosululloh bersabda :“Sesungguhnya sholat ini tidak layak untuk ucapan manusia, sholat ini hanya untuk bertasbih, takbir dan membaca Al Qur’an.”(HR. Muslim)

Berdasarkan hadits-hadits diatas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwasannya barang siapa yang melaksanakan syari’at agama tanpa adanya contoh dari Rasulullah atau Rasul belum pernah melaksanakannya, maka amalnya tidak akan diterima oleh Allah. Selain itu lafadl dan maknanya AlQur’an merupakan mu’jizat dari Alloh, maka apabila dirubah menjadi bentuk lain atau bahasa lain niscaya akan hilanglah kemu’jizatnya serta tidak dinamakan Al Qur’an lagi dengan kesepakatan kaum muslimin [3]

Golongan yang tidak setuju akan pelaksanaan shalat dengan dua bahasa juga berpendapat bahwa salah satu rukun shalat adalah membaca surat Al-Fatihah yang dimaksud surat Al-Fatihah disini bukanlah terjemahan dari surat tersebut melainkan bunyi ayat surat tersebut sesuai dengan yang telah dicantumkan dalam kitab suci Al-Qur’an.

Dan juga telah disebutkan dalam kitab ushul fiqh karangan Abdul Wahab Kholaf, bahwasannya Imam Maliki dan Imam Syafi’i melarang menggunakan muradlif[4] nya suatu lafadz dalam pelaksanaan shalat, dengan alasan bahwa dalam lafadz tersebut terdapat mani’ syar’i. sedangkan menurut Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa takbir itu boleh digunakan asalkan dengan satu makna. misalnya pada lafadz Allahu Akbar yang diganti dengan Allahu A’dzam atau Allahu Ajal. Sehingga beliau berpendapat bahwasannya boleh bagi setiap muslim untuk melakukan shalat dengan selain bahasa arab secara mutlak. Namun sebagian ulama’ hanafiyah berpendapat bahwasannya boleh dengan bahasa selain arab hanya bagi mereka yang tidk mampu berbahasa arab. Dalil yang digunakan :

“Dan telah diwahyukan Al Qur’an ini kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al Qur’an kepadanya.”(QS. Al An’am : 19)

Mereka mengatakan bahwa tidak mungkin bisa memperingatkan seseorang kecuali dengan bahasanya sendiri. Dari sini, ada sebuah isyarat bahwa terjemahan Al Qur’an itupun dinamakan dengan Al Qur’an, dan kalau memang terjemahan Al Qur’an itu Al Qur’an juga maka boleh membacanya dalam sholat.

Adapun dalil yang digunakan oleh madzhab Imam Abu Hanifah dan sebagian orang yang mengikutinya, maka kurang pas kalau dilarikan kedalam sholat menggunakan bahasa daerah karena beberapa hal, yaitu :

  • Ayat tersebut hubungannya dengan pemberian peringatan, dan kalau sebuah ayat ditafsirkan untuk memberi peringatan maka sebenarnya yang dijadikan peringatan itu adalah ayat tersebut dan bukan penafsirannya. [5]
  •  Dan anggaplah bahwa ayat ini bisa dibawa pada pengertian bahwa yang dijadikan peringatan itu adalah tafsirnya maka ayat tersebut berlaku umum sedangkat sholat adalah sesuatu yang khusus, sedangkan Rosululloh tidak pernah sholat menggunakan bahasa Indonesia atau mengajarkanya kepada para sahabat, padahal beliau bersabda : “Sholatlah sebagaimana kalian melihatku mengerjakan sholat

Jumhur ulama’ diantaranya adalah Imam Syafi’i, Malik, Ahmad, Dawud, Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan Asy Syaibani dan lainnya mengatakan bahwa tidak sah sholat menggunakan bahasa selain bahasa arab, bahkan tidak sah sholat meskipun mengunakan bahasa arab tapi bukan Al Qur’an yang dibaca melainkan tafsirnya. Misalkan kalau seseorang membaca :

الثناء على الرحمن رب السموات و الأرض وما بينهما

“Segala puji bagi Alloh yang maha Rohman pencipta dan pengatur langit dan bumi serta yang ada diantara keduanya.”

Meskipun lafadl ini bahasa arab dan semakna dengan firman Alloh:

الحمد لله رب العا لمين

Segala puji bagi Alloh Robb sekalian alam.”[6]

 

 

B. PENDAPAT GOLONGAN YANG MENYIMPANG

            Dalil yang digunakan oleh golongan yang memperbolehkan menggunakan dua bahasa dalam melaksanakan shalat:

ﻔﺈ ﻧﻤﺎ ﯾﺴﱠﺮﻨﺎ ﻩ ﺑﻟﺴﺎ ﻧﻚ ﻟﺗﺑﺷﱢﺮ ﺑﻪ اﻟﻤﺗﻘﯿﻦ ﻭ ﺗﻧﺫ ﺮ ﺑﻪ ﮮ ﻗﻭﻤﺎ ﻟﺩﱠﺍ (ﻤﺮ ﯾﻡ : ٩٧)

Artinya : “Maka sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur’an itu dengan bahasamu, agar kamu dapat memberi kabar gembira dengan Al-Qur’an itu kepada orang-orang yang bertaqwa, dan agar kamu memberi peringatan dengannya kepada kaum yang membangkang” ( Maryam : 97 )

            Allah memberikan keringanan bagi mereka yang tidak bisa memahami bacaan-bacaan Al-Qur’an dalam bahasa arab, untuk mempelajarinya dengan bahasa yang dapat dia fahami. Golongan yang berpendapat demikian menganalogikan bahwa shalat dengan dua bahasa itu tidak dilarang. Namun mereka juga berkeyakinan bahwa surat maryam diatas juga berguna pada saat reinkarnasi Maryam ( Lia Eden ) dibawa Allah memasuki wilayah penghakiman-Nya, demi terlaksananya pemaparan dalil-dalil hukum Tuhan terhadap segala peristiwa sulit pada masa kini. Surat Maryam di dalam Al Quran tertulis sebagai satu-satunya surat yang menuturkan seorang figur perempuan. Ibu Yesus itu terangkat di Al Quran untuk membuktikan figur tersebut akan mengalami kekhususan takdir di akhir zaman, saat Tuhan mengemukakan Hari Pengadilan-Nya[7]. Jika dilihat dari aladsan-alasan yang ada, pendapat ini sepertinya tidak pantas jika kita gunakan sebagai pedoman untuk mengkaji hokum islam. Namun demikian tidak salah jika kita tahu sedikit tentang pendapat-pendapat golongan yang menyimpang dari ajaran islam.

 

Mereka juga beranggapan bahwa melaksanakn shalat dengan dua bahasa boleh karena

C. SOLUSI ALTERNATIV BAGI ORANG YAG TIDAK BISA BAHASA ARAB

ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب

“Sesuatu yang tidak sempurna sebuah kewajiban kecuali dengannya maka sesuatu itu menjadi wajib.”

sabda Rosululloh :

إذا أمرتكم بأمر فأتوا منه ما استطعتم

“Jika kalian saya perintahkan dengan sebuah perintah maka kerjakanlah semampu kalian .”

(HR. Bukhori 7288, Muslim 1337)

  • Jika dia tidak mampu atau takut waktu sholat itu habis, namun dia menghafal salah satu ayat dalam surat Al Fatihah, maka dia wajib mengulang-ngulang ayat itu sesuai dengan ukuran surat Al Fatihah.Hal ini berdasarkan sabda Rosululloh :

إذا قمت إلى الصلاة فإن كان معك قران فاقرأه و إلا فاحمد الله و هلله و كبره

“Apabila engkau ingin mengerjakan sholat, maka jika kamu hafal sedikit ayat Al Qur’an maka bacalah namun kalau tidak, maka bacalah tahmid, tahlil dan takbir.”

(HR. Abu Dawud 1/99, Tirmidzi 2/96. Dan dishohihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ 2/321 dan shohih Abu Dawud)

 

 

D. HIKMAH SHALAT DENGAN BAHASA ARAB

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA



 

[4] Murodlif adalah lafadz yang banyak akan tetapi mengandung makna satu. didalam hukum muradlif boleh digunakan apabila didalamnya tidak ada larangan syar’i. dan disebutkan bahwa lafadz yang muradlif boleh digunakan apabila dalam satu bahasa.

[5] Lihat Al Mughni Imam Ibnu Qudamah 2/158)

 6 http://www.liaeden.info/indonesia/index.com

 

[6] Lihat Al Mughni Imam Ibnu Qudamah 2/158, Al Bayan Fi madzhab Imam Syafi’i syarah Al Muhadzab oleh Imam Al Imroni 2/195, Al Majmu Syarah Muihadzab Imam Nawawi 3/341 )

   4(Lihat Al Majmu’ Syarah Muhadzab 3/342)

 

 

 

Tidak ada komentar: