Ngekrest blogspot.com
-

Jumat, 15 Oktober 2010

penaggalan hijriyah taqribi

Teoritis Hisab hakiki Taqribi

Hisab Taqribi ( taqrobu = pendekatan, aproksimasi ) adalah sistem hisab yang sudah menggunakan kaidah-kaidah astronomis dan matematik namun masih menggunakan rumus-rumus sederhana dan dengan data-data yang masih sederhana, sehingga hasilnya kurang teliti. Sistem hisab ini merupakan warisan para ilmuwan falak Islam masa lalu dan hingga sekarang masih menjadi acuan hisab di banyak pesantren di Indonesia. hasil hisab taqribi akan sangat mudah dikenali saat penentuan ijtimak dan tinggi hilal menjelang 1 Ramadhan, Syawal dan Zulhijjah. Walaupun selisih perhitungannya cukup besar terhadap hitungan astronomis modern.

Mengenai sejarah hisab taqribi sendiri, pada tanggal 27 april 1992 di tugu bogor, dihasilkan kesepakatan paling tidak ada tiga klasifikasi pemikiran hisab di Indonesia yakni hisab hakiky taqriby, hisab hakiky tahkiky, dan hisab hakiky kontemporer. Dalam pertemuan ini juga disepakati bahwasanya kitab fath al-Rauf al-Mannan merupakan sebuah karya monumental oleh Abdul jalil yang dikategorikan sebagai hisab Taqriby.

Selain itu Hisab hakiki taqribi adalah salah satu metode hisab dengan berdasarkan teori geosentris yaitu bumi diasumsikan sebagai pusat peredaran matahari, kemudian dasar perhitungannya menggunakan table yang disusun oleh Ulugh beik di samarkandi. Yang kemudian dilanjutkan oleh Muhammad mansur bin abdul hamid bin Muhammad damiri di kampong sawahlio (1902-1968). Dalam hal ini beliau menyusun kitab sulamun nayyirain, yang didalamnya masih menggunakan data table abad ke-15 sehingga ada perbedaan hasil apabila dibandingkan dengan hasil hisab hakiki tahkiki yang telah menggunakan data ephimeris hisab rukyat. Dan Perbedaannya antara 2 menit sampai satu jam 38 menit, sehingga data yang disusun pada abad 15 tersebut harus terus dilanjutkan dan diberikan koreksi, sehingga perbedaan dari hisab tersebut dapat dianulir bahkan diharapkan menjadi perhitungan yang memiliki akurasi tinggi sesuai dengan keadaan sebenarnya.

Dalam system ini umur bulan tidak tentu, dalam artian selalu bergantian antara tiga puluh hari dan 29 hari akan tetapi yang menjadi acuan adalah ijtima’. Apakah ijtima’ terjadi sebelum matahari terbenam atau setelah matahari terbenam. Bilamana ijtima’ terjadi sebelum matahari terbenam dalam system hisab ini dipastikan ketika matahari terbenam hilal sudah diaas ufuk, dan sebaliknya bila ijtima’ terjadi setelah matahari terbenam dipastikan hilal masih dibawah ufuk.

Mengenai kitab-kitab yang juga termasuk klasifikasi hisab hakiky taqriby adalah sullamun nayyirain (Muhammad manshur), tadzkiratul ihwan (dahlan semarang), al-qowaidul falakiyah (abdul fatah), assyamsu wal qomar (anwar katsir), syamsul hilal (nor ahmad), dan sebagainya.
Hisab hakiky taqriby juga sering disebut dengan aliran ijtima’ semata. Bahwasanya aliran ini menetapkan bahwa awal bulan qomariyah mulai masuk ketika terjadinya ijtima’.dan para pengikutnya juga mengatakan bahwasanya bertemunya dua benda yang bersinar (matahari dan bulan) merupakan pemisah diantara dua bulan. Criteria awal bulan yang ditetapkan oleh aliran ini sama sekali tidak memperhatikan rukyat, artinya tidak mempermasalahkan hilal dapat dilihat atau tidak. Jadi menurut aliran ini, ijtima’ merupakan pemisah antara dua bulan qomariyah yang berurutan.

Pemikiran beberapa literature

Seperti yang dijelaskan diatas bahwasanya banyak sekali kitab-kitab yang menggunakan metode hisab taqriby , dan salah satunya adalah kitab sullamun Nayyirain, menginei pemikiran didalamnya akan dijelaskan sebagai berikut:
  • sullamun nayyirain
Dalam kitab karangan abdul jalil hamid ini, beliau merujuk pada sebuah kitab yakni zaij ahli haiah syeh dahlan. Dan ternyata kitab tersebut merupakan zaij ulugh beik, yang merupakan pedoman data-data yang masih digunakan sampai sekarang. Dan bedanya dengan kitab zaij dahlan semarang adalah dengan data angka yang sudah diterjemahakn dengan angka arab.
Dalam kitab ini menggunakan angka-angka arab yakni “ abajadun hawazun…….” Dan alur hisabnya yakni bermula dengan mendata al-alamah, al-hishah, al-khassah, al-markas, dan al-auj yang akhirnya dilakukan ta’dil (interpolasi data.)

Sehingga dengan berpankal pada waktu ijtima’ rata-rata. Interval ijtima’ rata-rata menurut system ini selama 29 hari 12 menit 44 detik. Dan dengan pertimbangan bahwa gerak matahari dan bulan tidak rata, maka diperlukan koreksi gerakan anamoli matahari (تعديل المركز) dan gerakan anomoli bulan (تعديل الخصَة). Yang kemudian ta’dil khoshshoh dikurangi ta’dil markaz. Koreksi markas kemudian dikoreksi lagi dengan menambahnya ta’dil markaz dikalikan 5 menit. Kemudian dicari wasat (longitude) matahari dengan cara menjumlah markas matahari dengan gerak auj (titik equinox) dan dengan koreksi markas yang telah dikoreksi tersebut (مقوّم). Lalu dengan argument dicari koreksi jarak bulan untuk menempuh busur satu derajat ) daqoiq ta’dil ayyam). Seterusnya dicari waktu yang dibutuhkan bulan untuk menempuh busur satu derajat (hishshotus sa’ah). Terakhir dicari waktu ijtima’ sebenarnya yaitu dengan mengurangi waktu ijtima’ rata-rata teersebut dengan jarak matahari bulan dibagi (hisasatus sa’ah). Perhitungan ijtima; ini memang sudah benar , tetapi koreksiny masih sederhana.

Perhitungan Hisab Taqribi

Dan rumus yang dipergunakan untuk menghitung tinggi hilal dalam system hisab ini sangat sederhana, yaitu jarak antara ijtima’ dengan ghurub dibagi dua adalah merupakan tinggi hilal saat ghurub. (TINGGI HILAL = jam ghurub-jam ijtima’ x 1/20)
Mengenai perhitungan hisab taqribi secara umum adalah sebagai berikut:
1. menentukan terjadinya ghurub matahari untuk sesuatu tempat.
2. atas dasar inilah mereka menghitung longitude matahari dan bulan serta data-data yang lain dengan coordinate ekliptika.
3. atas dasar longitude inilah mereka menghitung terjadinya ijtima’.
4. kemudian kedudukan matahari dan bulan yang ditentukan dengan system coordinate ekliptika diproyeksikanlah ke equtor dengan coordinate equator.dengan demikianlah diketahuilah jarak sudut lintasan matahari dan bulan pada saat terbenamnya matahari.
5. kemudian kedudukan matahari dengan system coordinate equator itu diproyeksikan lagi ke vertical sehingga menjadi kordinate horizone, dengan demikianlah dapat ditentukan berapa tingginya bulan pada saat matahari terbenam tersebut dan berapakah azimutnya.

Dalam sistim hisab ini umur bulan tidak tentu selalu bergantian antar 30 hari dan 29 hari, akan tetapi yang menjadi acuan adalah ijtima’, apakah ijtima’ terjadi sebelum Matahari terbenam atau setelah Matahari terbenam. Bilamana ijtima’ terjadi sebelum Matahari terbenam dalam sistim hisab ini dipastikan ketika Matahari terbenam hilal sudah di atas ufuk (positip), dan sebaliknya bilamana ijtima’ terjadi setelah Matahari terbenam ketika Matahari terbenam dipastikan hilal masih di bawah ufuk (negatip).

Rumus yang dipergunakan untuk menghitung tinggi hilal dalam sistem hisab ini sangat sederhana, yaitu jarak antara ijtima’ dengan ghurub dibagi dua adalah merupakan tinggi hilal saat ghurub. Atau Tinggi Hilal = Jam Ghurub – Jam Ijtima’ x ½0 .
Contoh : tanggal 11 Oktober 2007 M. IJTIMA’ akhir Ramadhan 1428 H. terjadi tanggal 11 Oktober 2007 M. pk. 12. 02. 29,26 WIB. matahari ( t0 ) saat terbenam = pk. 17.48.0,47 WIB. Berarti : pk. 12: 02: 29,26 – 17: 48: 0,47 = - 50 45’ 31.21” x ½ = jadi tinggi hilal - 20 52’ 45,61” sudah hanya sebatas itu saja, hisab taqribi, maka gitu saja dalam perhitungan taqribi ngak sulit seperi hakiki, karena dalam perhitungan taqribi tidak memperhitungkan dimana posisi matahari dan bulan.