Ngekrest blogspot.com
-

Jumat, 04 Juni 2010

hermeneutika dan tradisi ulumul qur'an

Hermeneutika dan Tradisi Ulumul Qur’an

Konon Abdullah Darraz—seorang pakar tafsir al-Qur'an kenamaan—pernah melontarkan sebuah ungkapan popular yang dikutip oleh Quraish Shihab menyangkut "lautan makna tak bertepi" yang dikandung al-Qur'an. "Al-Qur'an bagaikan permata, di mana setiap sisi-sisinya memancarkan keragaman makna. Bahkan, jika kita memandangnya untuk kedua kali dan seterusnya, kita akan dapatkan makna yang berbeda dengan yang pertama kali kita lihat". Dalam ungkapan yang kurang lebih sama, al-Farmawi (penulis al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdhu'i) menyatakan bahwa al-Qur'an "bagaikan lautan yang keajaiban-keajaibannya tidak pernah habis dan kecintaan terhadapnya tidak pernah lapuk oleh zaman". Maka, lanjut al-Farmawi, merupakan sesuatu yang dapat dipahami jika terdapat ragam metode untuk menafsirkan al-Qur'an.
Variasi (keragaman) metodologis ini dalam perjalanan sejarahnya terus mengalami perkembangan kreatif sesuai dengan tuntutan sosial-budaya, kemajuan cara berpikir manusia serta berbagai temuan perangkat keilmuan modern. Tentunya, akibat paling logis dari hadirnya keragaman metodologis ini adalah lahirnya keragaman (produk) penafsiran. Dalam epistemologi tafsir Farmawi-an misalnya, keragaman metode ini ditunjukkan melalui kenyataan bahwa terdapat empat metode yang dikembangkan para mufassir dalam memproduksi makna teks al-Qur'an. Pertama, metode tahlili (analitis-terperinci-mendalam); kedua, metode ijmali (global-singkat-praktis); ketiga, metode muqaran (perbandingan/komparasi); dan keempat, metode maudhu'i (tematik-topikal).
Makna yang dikandung al-Qur'an yang demikian multi interpretable bukannya tidak disadari oleh para ulama Muslim. Sejarah panjang perjalanan Islam merupakan saksi nyata atas hadirnya ragam hasil penafsiran al-Qur'an. Bahkan, dalam bahasa satiris, Hassan Hanafi (Filsuf Muslim Kontemporer asal Mesir) menegaskan bahwa konflik sejarah yang dialami umat Muslim tidak lain adalah akibat konflik penafsiran. Oleh karena itu, kehadiran 'Ulum al-Qur'an sebagaimana dirumuskan oleh para ulama tidak lepas dari upaya untuk mengantisipasi potensi keragaman makna yang dikandung al-Qur'an. Dengan demikian, sejarah kelahiran ilmu-ilmu al-Qur'an ('Ulum al-Qur'an) tidak bisa dilepaskan dari sejarah keragaman makna-makna al-Qur'an. Konsep-konsep yang terangkum dalam 'Ulum al-Qur'an seperti nasikh-mansukh, makki-madani, 'am-khash, muthlaq-muqayyad, asbab al-nuzul, dzahir-bathin dan yang sejenisnya merupakan sekumpulan konsep yang menunjukkan dan berimplikasi pada hadirnya keragaman penafsiran.
Namun demikian, perkembangan dan tantangan sosial menuntut upaya pemahaman ulang terhadap berbagai konsep menyangkut tradisi pemahaman Kitab Suci (the Sacred Book) al-Qur'an. Bahkan, upaya metodologis ini sampai pada tingkatan menawarkan cara pandang (metode penafsiran) yang sama sekali baru, dengan dukungan perangkat keilmuan yang juga modern sebagai usaha kreatif memproduksi makna teks-teks agama.
Dalam kaitan ini, sejauh menyangkut wacana metodologis, saat ini berkembang kesadaran baru tentang pentingnya melibatkan ilmu-ilmu sosial—psikologi, sosiologi, antropologi dan sejarah—dan ilmu-ilmu humaniora—filsafat, hermenutik dan ilmu bahasa—dalam memahami teks suci al-Qur’an. Dari sini berkembang istilah baru dalam wacana dan aktivitas penafsiran teks kitab suci al-Qur’an, yaitu hermeneutik—jelasnya, hermeneutika al-Qur’an. Hermeneutika al-Qur’an dimengerti sebagai ilmu dan seni interpretasi al-Qur’an, yang mencakup teori, metodologi dan teknik penafsiran al-Qur’an.
Kontroversi Hermeneutik di Dunia Muslim
Secara terminologi keilmuan, istilah hermeneutik sebelumnya tidak pernah digunakan dan tidak dikenal dalam khazanah kosakata ilmiah Islam tradisional. Sementara penggunaannya dalam studi tafsir kontemporer, tidak diketahui secara pasti; kapan saat munculnya dan siapa tokoh yang mengintrodusir atau paling tidak yang mempopulerkannya. Jadi, sampai kini belum ada kejelasan kapan istilah hermeneutik ini muncul dan siapa yang mempopulerkannya ke Dunia Islam. Tetapi, dari perkembangan historisnya, kehadiran istilah ini jelas merupakan sebuah kritik metodologis, sekaligus sebagai kritik ideologis terhadap metode atau teori interpretasi teks tradisional.
Dengan demikian, sebagai sebuah istilah teknis keilmuan yang sama sekali baru, hermeneutik adalah "murni" dari pengalaman historis masyarakat Barat. Ia merupakan wacana ilmiah yang lahir, tumbuh dan berkembang dari hasil pergulatan masyarakat Barat modern dengan seluruh muatan konteks sosial budayanya. Artinya, hermeneutik bukanlah teori yang bebas nilai. Ia sangat sarat akan nilai-nilai sosial-budaya-politik suatu masyarakat atau peradaban tertentu, yaitu peradaban Barat modern. Diakui atau tidak, dalam tradisi hermeneutik terkandung sejumlah pra-asumsi, kepentingan atau ideologi Barat modern.
Berpijak dari kenyataan obyektif ini, tidaklah heran jika kemudian keberadaan hermeneutik sebagai sebuah pisau metodologis khas Barat modern menimbulkan sejumlah pro-kontra di kalangan umat Muslim; mereka yang mendukung dan mereka yang menolak. Mereka yang mendukung umumnya berasal dari kalangan Muslim bertradisi "Pencerahan" dan berjiwa progresif-modern. Kalangan ini berpendapat bahwa tradisi ilmiah Islam selama ini mengalami kemandegan, akibat kurang adanya semangat kreatif-produktif dan jiwa progresif-konstruktif-transformatif. Kemandegan dalam berbagai bidang menyebabkan umat Islam mengalami kemunduran, keterbelakangan dan tertinggal jauh dari peradaban Barat modern. Berangkat dari keprihatinan ini, mereka tergerak untuk mengapresiasi secara positif dan kritis khazanah-khazanah intelektual Barat, untuk kemudian menerapkannya dalam rangka kebangkitan Islam. Hermeneutiklah salah satu teori keilmuan Barat modern yang mereka apresiasi untuk menghidupkan kembali ruh kreatifitas berpikir (semangat ijtihad) yang selama ini mengalami kebekuan di Dunia Islam.
Sedangkan mereka yang menolak umumnya berpandangan bahwa Islam adalah agama terakhir yang paripurna, universal dan integral, sehingga tidak perlu lagi mengadopsi pemikiran orang di luar Islam [Barat modern]. Lagipula, terlalu "berbahaya" jika kita sebagai Umat Islam mengambil "mentah-mentah" produk pemikiran lain, di tengah kenyataan bahwa Islam merupakan pesan terakhir Tuhan yang banyak "dibenci" oleh kaum non-Islam. Bisa jadi, wacana hermeneutik dilemparkan ke tengah masyarakat Muslim justru dengan motivasi untuk mengancam eksistensi agama ini.
Di samping itu, mereka beralasan bahwa seandainya hermeneutik dimengerti sebagai teori pemahaman atau penafsiran teks, maka sebenarnya tradisi ilmiah Islam telah memiliki sarana metodologis yang seperti hermeneutik, yaitu tafsir dan ta'wil. Jadi, apa signifikansinya mengambil teori hermeneutik-Barat modern dengan mengesampingkan teori tafsir dan ta'wil yang khas Islam, kecuali ada maksud atau kepentingan laten tertentu? Toh, antara hermeneutik dengan tafsir dan ta'wil tidak ada bedanya, demikian reasoning yang diajukan kalangan penolak teori ini. Wakil kalangan ini biasanya berasal dari kaum Muslim yang diidentifisir sebagai fundamentalis, tekstualis, tradisionalis, skripturalis atau radikalis. Yaitu, mereka yang berorientasi pada pemikiran-pemikiran keislaman klasik produk ulama-ulama salafi.

Hermeneutik dan Tradisi Penafsiran al-Qur'an
Berdasarkan keterangan di atas, boleh jadi benar, bahwa kalau hermeneutik dipahami sebagai ilmu dan seni menafsirkan al-Qur’an, maka pada hakikatnya teori bahkan praktek hermeneutik ini dalam tradisi Islam sudah muncul sejak al-Qur’an diwahyukan. Ilmu atau praktek keilmuan seperti ini dalam tradisi Islam lazim disebut dengan istilah tafsir; suatu disiplin ilmu yang memiliki akar sangat kuat dan masih berkembang hingga sekarang, terutama dalam rangka melakukan studi kritis mengenai hadis dan kandungan al-Qur’an.
Secara etimologis, tafsir berasal dari kata kerja fassara-yufassiru-tafsir [-an] yang bermakna "membuka" [al-kasyf]. Juga berarti "menerangkan dan menjelaskan" [al-idlah wa al-tabyin] yang memberi pengertian bahwa terdapat sesuatu yang belum atau tidak begitu jelas dan memerlukan keterangan serta penjelasan lebih jauh, sehingga menjadi terang dan jelas. Dalam al-Qur’an, kata tafsir atau al-tafsir hanya disebutkan sekali saja, yaitu dalam surat al-Furqan ayat 33. Tafsir juga bermakna "memperlihatkan [al-idzhar] dan membuka sesuatu yang tertutup [kasyf al-mughthi]. Atau, "menjelaskan" [al-ibanah], "membuka" [al-kasyf] dan "memperlihatkan arti yang masuk akal" [idzhar al-ma'na al-ma'qul].
Sedangkan secara terminologis, tafsir didefinisikan oleh para ulama dengan rumusan yang berbeda-beda, tapi dengan arah dan tujuan yang sama. Al-Zarkasyi mendefinisikannya sebagai "ilmu untuk mengetahui pemahaman kitab Allah [al-Qur’an] yang diturunkan pada Muhammad saw, menjelaskan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum-hukum dan hikmah-hikmah yang dikandungnya". Sedangkan al-Zarqani mendefinisikannya sebagai "ilmu yang membahas tentang al-Qur'an al-Karim dari asfek petunjuknya [dalalahnya] atas maksud Allah [atau, dari asfek persoalan makna yang sesuai dengan kehendak Allah] berdasarkan tingkat kemampuan manusia". Sedangkan menurut Abu Hayyan al-Tauhidi, tafsir adalah "ilmu yang membahas tentang 'aturan main' [rule of games/kaifiyyat] mengucapkan lafadz-lafadz al-Qur'an, [membahas] petunjuk-petunjuknya [madlulatiha], hukum-hukumnya—secara terpisah [ifradiyyah] dan teratur [tarkibiyyah], dan makna-maknanya yang tercakup oleh kondisi keteraturan serta berbagai pelengkap untuk hal tersebut".
Jadi jelas bahwa tafsir adalah ilmu yang berkenaan dengan pemahaman makna-makna al-Qur'an menyangkut berbagai asfeknya yang luas dan sangat dibutuhkan manusia. Tafsir al-Qur'an betul-betul dibutuhkan manusia sepanjang sejarah. Dalam menjalankan profesinya, seorang ahli tafsir dibekali oleh ilmu sejarah al-Qur'an, gramatika serta sastra Arab yang mencakup ilmu-ilmu balaghah, bayan dan ma'ani. Selain yang dikemukakan di atas, terdapat sejumlah cabang ilmu yang mesti dikuasai oleh seseorang yang hendak berkiprah sebagai mufassir, agar penafsirannya tidak menyimpang dan diterima dengan wajar. Antara lain; ilmu ushul fiqih, ilmu tauhid, ilmu asbab al-nuzul, ilmu tentang kisah-kisah, ilmu nasikh mansukh, hadis-hadis tentang tafsir dan ilmu mawhibah [semacam ilmu ladunni].
Hermeneutik, Tafsir dan Ta'wil: Batas-batas Pemahaman
Meski sekilas nampak ada kemiripan antara tafsir dan hermeneutik hakikatnya keduanya memiliki perbedaan mendasar. Hermeneutika, yang berkembang dan dipahami dalam tradisi filsafat secara metodologis, melangkah lebih jauh sehingga melampaui batas tradisi ilmu tafsir yang selama ini dikembangkan dalam studi Islam. Ini tidak berarti bahwa hermeneutika lebih tinggi ataupun lebih maju dari ilmu tafsir. Hal ini semata-mata menyangkut perbedaan tradisi dan metodologi yang diterapkan, yang masing-masing berkembang dalam tradisi filsafat serta sejarah dan lingkungan intelektual yang berbeda. Dalam Islam sendiri, pemahaman terhadap ayat-ayat hukum, teologi dan tasawuf mengenal perbedaan, sehingga melahirkan berbagai mazhab tafsir.
Sementara itu terdapat beberapa kalangan yang mengidentikkan hermeneutik dengan ta'wil. Asumsi ini dibangun berdasarkan kenyataan bahwa keduanya sama-sama berkepentingan untuk menyingkap makna tersirat sebuah teks atau melampaui makna lahirnya. Dalam lingkungan Islam, aliran Mu'tazilah, Syi'ah dan Sufi merupakan kelompok yang sangat menekankan ta'wil ketimbang tafsir. Dalam tradisi Syi'ah misalnya, pengertian ta'wil mendekati tradisi tasawuf pada umumnya; cenderung menggali makna batin atau esoterisme ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan pengetahuan dan pengalaman mistik. Sedangkan di lingkungan Mu'tazilah, ta'wil lebih menekankan pendekatan rasional-filosofis. Terkadang, istilah tafsir dan ta'wil dipahami sama [sinonim] dalam tradisi keilmuan Islam, meskipun ada juga yang membedakannya.
Secara etimologis, ta'wil berasal dari awwala-yu'awwilu-ta'wil artinya "kembali" atau "mengembalikan kepada yang asal". Sedangkan secara istilah, ta'wil adalah memalingkan lafadz dari makna yang kuat [al-rajih] atau makna lahir kepada makna yang lemah [al-marjuh] atau makna batin". Artinya, tafsir berhubungan dengan makna lahir atau penafsiran eksoteris, sedangkan ta'wil berhubungan makna batin atau penafsiran esoteris. Dalam konteks berhubungan dengan makna esoteris atau "melampaui tekstualitas teks" inilah ta'wil bertemu dengan hermeneutik.
Pemikiran Hermeneutik al-Qur'an dalam Islam
Terlepas dari kontroversi hebat seputar "keabsahan" hermeneutik, teori kontemporer ini tidak sedikit diapresiasi oleh kalangan Muslim rasional-progresif yang sangat peduli pada kemunduran Umat Islam. Berdasarkan perkembangan historisnya di Dunia Islam, bisa kita ketahui bahwa benih-benih teori hermeneutika telah dikembangkan untuk pertama kalinya oleh Amin al-Khuli, yang mengadopsi teori interpretasi kritik sastra dalam penafsiran teks suci al-Qur’an. Hal ini mudah dimengerti karena teori hermeneutika pada mulanya berkembang dalam tradisi kritik sastra, dan sarjana muslim kontemporer pertama yang menggunakan teori kritik sastra ini dalam penafsiran teks suci al-Qur’an adalah Amin al-Khuli.
Asumsi atau paradigma dasar yang dibangun dalam mempertemukan kajian teks al-Qur’an dengan pendekatan hermeneutika ini adalah meletakkan al-Qur’an sebagai "wacana sejarah" [historical discourse] yang bersifat historis, dan karena itu harus tunduk pada norma-norma kesejarahan manusia. Paradigma dasar ini sama sekali berbeda dengan pandangan teologis selama ini yang melihat teks sebagai korpus tertutup [closed corpus], dan karena itu bersifat meta-historis atau beyond the history [fauqa al-tarikh]. Proyek penelitian al-Khuli terhadap al-Qur’an misalnya, dimulai dengan upaya menggeser wilayah hermeneutika teks dari wilayahy yang tak terpikirkan [unthinkable] menjadi wilayah yang dapat dipikirkan [thinkable]. Upaya tersebut dilakukannya dengan menjadikan teks sakral [al-Qur’an] sebagai "Kitab Bahasa Arab Teragung" [Kitab al-'Arabiyyah al-Akbar] dan mempunyai dampak kesusasteraan yang paling besar.
Upaya serupa dilakukan oleh muridnya, Nashr Hamid Abu Zaid yang mengasumsikan al-Qur’an sebagai "produk budaya" [al-muntaj al-tsaqafi] dalam kerangka hermeneutikanya. Karena itu, lanjut Abu Zaid, al-Qur’an sebagai risalah langit yang diturunkan ke bumi, tidak dapat terlepas dari hukum-hukum realitas [norma-norma kesejarahan manusia], dengan segala struktur yang ada dalam realitas tersebut, khususnya struktur budaya.
Berdasarkan paradigma di atas, al-Khuli menyusun kerangka metodologi hermeneutikanya dengan menggunakan metode kritik sastra yang mengembangkan dua metode kritik; yaitu metode kritik eksternal [naqd al-khariji] dan kritik internal [naqd al-dakhili]. Kritik ekstrinsik diarahkan pada kritik sumber, kajian holistik terehadap faktor-faktor eksternal munculnya sebuah karya, baik sosio-geografis, religio-kultural maupun politis untuk dapat memetakan karya sastra dalam konteksnya secara proporsional. Sementara kritik intrinsik diarahkan pada teks sastra itu sendiri dengan analisis linguistik yang hati-hati sehingga mampu mengungkap makna yang dikehendaki teks.
Dalam penerapan metodisnya, al-Khuli membagi kajian teks al-Qur’an menjadi dua tahap, yaitu pertama, kajian di sekitar al-Qur’an [dirasat ma haula al-Qur’an] dan kedua, kajian di dalam al-Qur’an sendiri [dirasat ma fi al-Qur’an nafsih]. Kajian yang pertama [dirasat ma haula al-Qur’an] diarahkan pada investigasi asfek soio-historis [masa dan sebab turunnya wahyu, penulisan, pengumpulan dan penyebaran serta cara bacanya], asfek geografis-kultural dan antropologi wahyu [baik yang bersifat material, seperti tanahnya, gunungnya, suhunya, padangnya, iklimnya, lautnya, anginnya, kehidupan biologinya dan tetumbuhannya; maupun yang bersifat non-material, seperti sejarah masa lampau, peristiwa-peristiwa besar, tatanan keluarga, sistem kesukuan, sistem pemerintahan dalam berbagai tingkatannya, sistem kepercayaan dengan berbagai macamnya, kesenian dengan berbagai cabangnya, pola profesinya dan sistem etikanya].
Sedangkan yang kedua [dirasat ma fi al-Qur’an nafsih] dimulai dengan pelacakan kosakata yang ada dalam al-Qur’an [sejarah perkembangan pengertian setiap kata dan unsure-unsur yang mempengaruhinya seperti fenomena-fenomena kejiwaan dan sosial, faktor-faktor peradaban umat, perkembangan ilmu pengetahuan, politik dan kekuasaan Negara Islam; membandingkan arti etimologisnya dengan pengertian yang selama ini biasa digunakan; hingga memisah-misahkan dan sekaligus memilih pengertian yang lebih sesuai]. Selanjutnya, melakukan kajian terhadap pengertian kosakata tersebut yang dipakai dalam al-Qur’an [mengkategorikan pengertian-pengertian kosakata itu sesuai dengan waktu dan tempat pewahyuannya; analisis munasabat, hingga menemukan pengertian yang sebenarnya].
Dan terakhir, setelah melakukan pembahasan yang lengkap terhadap kosakata tersebut, kemudian melakukan kajian terhadap susunan kata itu dalam kalimat dengan menggunakan berbagai ilmu Bahasa Arab yang ada, seperti ilmu tata bahasa [al-nahwu] dan ilmu paramasastra [al-balaghah] untuk membantu merumuskan makna definitif serta membantu menyimpulkan beragam cara membaca untuk satu ayat tertentu, dan menggabungkan pengertian umum dari penggunaan yang berbeda dalam setiap ayat.
Di samping Amin al-Khuli dan Nashr Hamid Abu Zayd, cendekiawan-cendekiawan Muslim lainnya yang sangat concern dalam merumuskan isu-isu metodologis seputar teori pembacaan al-Qur'an, terutama gagasan hermeneutik antara lain, Fazlur Rahman dengan gagasan Double Movement-nya, Hassan Hanafi dengan Hermeneutika Pembebasan-nya, Muhammad Syahrur dengan Pembacaan al-Qur'an Kontemporer¬-nya, dan lain-lain.
Hermeneutik al-Qur'an: Bagian Integral Ilmu-ilmu al-Qur'an ('Ulum al-Qur'an)
Di atas semua kontroversi mengenai legalitas doctrinal hermeneutik sebagai alat pembacaan Kitab Suci al-Qur'an, penulis memandang bahwa keberadaan metode ini merupakan sebuah keniscayaan sejarah sebagai sebuah evolusi metodologis dari triadik metode penafsiran yang dikembangkan oleh umat Islam, yaitu tafsir-ta'wil-hermeneutik. Artinya, sebagai sebuah perangkat metodologis pembacaan al-Qur'an, hermeneutik merupakan bagian integral dan "anak kandung yang sah" dari perjalanan panjang sejarah perkembangan Ilmu-ilmu al-Qur'an. Keyakinan ini bukannya tanpa alasan ilmiah. Sejumlah gagasan konseptual dalam tradisi hermeneutik seperti keharusan mempertimbangkan konteks sosial pembaca maupun teks, konsep teks itu sendiri, keragaman potensial makna teks, mempertimbangkan kondisi audiens sebagai sasaran teks (mad'u) merupakan kumpulan konsep yang erat kaitannya, bahkan tidak lain merupakan "kepanjangan tangan" (atau pengembangan lebih lanjut) dari istilah-istilah metodologis yang terdapat dalam tradisi kajian 'Ulum al-Qur'an.

 

Tidak ada komentar: