Ngekrest blogspot.com
-

Jumat, 04 Juni 2010

As-sunnah

BAB I

PENDAHULUAN

Seluruh umat islam telah menerima paham bahwa sunnah rosulullah saw itu sebagai pedoman hidup yang utama setelah Al-Qur’an. Tingkah laku manusia yang tidak ditegaskan ketentuan hukumnya, tidak diterangkan cara mengamalkannya, tidak diperinci menurut penunjuk dalil yang masih utuh, tidak dikhususkan menurut petunjuk ayat yang masih mutlak dalam Al-Qur’an, hendaklah dicarikan penyelesainnya dalam As-Sunnah.

 Andaikata usaha ini tidak berhasil atau mengalami kegagalan , disebabakan oleh tingkah laku yang akan dicari ketentuan hukum dan cara mengamalkannya itu benar-benar belum terjadi di masa rosulullah saw. Maka memerlukan ijtihad baru untuk menghindari kevakuman hukum dan kebekuan beramal dengan mencari pedoman yang lain yang dibenarkan oleh syariat.

Allah sebagai dzat yang mengutus rosulluah saw, telah menyampaikan amanatnya kepada umat manusia, memerintahkan kepada kita semua agar berpegang teguh kepada apa yang disampaikan oleh rosulullah sebagaimana yang termaktub dalam surat al-hasyr: 7          “ apa-apa yang disampaikan rosulullah kepadamu terimahlah, dan apa-apa yang dilarangnya bagimu tinggalkanlah”

Rosulullah juga memberitahukan kepada umatnya, bahwa disamping Al-Quran masih terdapat suatu pedoman yang sejenis dengan Al-Quran untuk tempat berpijak dan pandangan, sabdanya “wahai umatku! Sungguh aku diberi al-quran dan yang menyamainya”. Sudah tidak ragu lagu bahwa yang dimaksud menyamai al-quran adalah as-sunnah (hadist).

Dalam makalah sederhana ini, kami berusaha menyajikan selek beluk tentang sunnah baik pengertiannya, macam-macamnya, fungsinya, kehujjahannya bahkan bid’ah yang berkaitan dengan sunnah.       

 

 

 

 

BAB II

RUMUSAN MASALAH

  1. Apa pengertian, macam-macam sunnah itu?
  2. Apa saja fungsi sunnah itu?
  3. Bagaiman kehujjahan sunnah terhadap al-quran?
  4. Bid’ah apa yang berkaitan dengan sunnah?

BAB III

PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN SUNNAH

Kata “Sunnah” ﺴﻧﺔ berasal dari kata ﺳﻦ secara etimologis berarti cara atau jalan yang biasa dilakukan, apakah cara itu sesuatu yang baik atau sesuatu yang buruk[1]. Arti tersebut diatas sesuai dalam hadits nabi yang berbunyi :

ﻤﻦﺴﻦﻔﻰﺍﻹﺳﻼﻢﺴﻧﺔﺤﺴﻧﺔ ﻔﻠﻪﺍﺠﺮﻫﺎﻮﺍﺠﺮﻣﻦﻋﻣﻝﺒﻫﺎﻮﻣﻦﺳﻦﺳﻨﺔ ﺳﻴﺋﺔ ﻓﻌﻠﻴﻪ ﻮﺰﺮﻫﺎﻮﻮﺰﺮﻣﻦ ﻋﻣﻞﺒﻫﺎﺇﻟﻰﻳﻮﻢﺍﻟﻗﻳﺎﻣﺔ

Artinya : “barang siapa yang membuat jalan yang baik dalam islam, maka ia akan menerima pahalanya dan pahala orang-orang yang mengerjakannya sesudahnya dan barang siapa yang menmembuat jalan yang buruk, maka dia menanggung dosanya dan dosa orang-orang yang mengerjakannya sampai hari kiamat”.

Sedangkan dalam Al-Qur’an, kata sunnah terdapat dalam 16 tempat, diantaranya terdapat dalam surat Ali-‘Imran ayat 137 dan juga dalam surat Al-Isra’ ayat 77. Yang dalam hal ini biasanya para ulama’ mengartikan dengan “cara yang biasa dilakukan dalam pengamalan agama”. Kata “sunnah” jika dirangkaikan dengan kata “kitab” berarti cara-cara beramal dalam agama berdasarkan apa yang dinukilkan dari nabi Muhammad saw” atau “suatu amaliah agama yang telah dikenal oleh semua orang”. Kata sunnah dalam artian ini adalah lawan dari kata bid’ah.

Sunnah dalam istilah ulama’ ushul fiqh yaitu: apa-apa yang diriwayatkan dari nabi Muhammad saw baik berupa perkataan, perbuatan, serta pengakuan dan sifat nabi SAW[2]. Sedangkan sunnah menurut ulama’ fiqh yaitu : sesuatu yang sebaiknya dilakukan, namun apabila ditinggalakan tidak akan dikenai dosa orang yang meninggalkannya.

Kata sunnah oleh para ulama’ hadits, sering diartikan sama dengan kata hadits. Yaitu yang pengartiannya sama dengan yang diartikan oleh ulama’ ushul fiqh. Namun ada juga yang membedakan antara sunnah dan hadits, yaitu hadits diarahkan kepada sabda-sabda nabi saw sedangkan sunnah seringkali ditujukan pada perbuatan serta tindakan nabi yang sudah menjadi tradisi yang hidup dalam pengalaman agama.

Semua ulama’ hadits, ushul, dan fiqh sepakat bahwa kata sunnah dan hadits hanya digunakan bagi nabi saja dan bukan untuk selainnya. Alasannya karena mereka beranggapan bahwa yanga maksum hanyalah nabi saw sedangkan kelompok syi’ah beranggapan bahwa yang maksum bukan hanya nabi saw tetapi juga keturunannya yang melalui putrinya, Fatimah dengan ali bin abi tholib, yang dikenal dengan ahl al-bait,.sehingga perkataan, perbuatan serta taqrir ahl al-bait juga mereka sebut dengan hadits. Jadi hadits menurut mereka adalah ucapan, perbuatan dan takrir orang-orang yng ma’shum[3].

 Sedangkan sunnah menurut syari’at islam yaitu:segala sesuatu yang berasal dari Rasulullah saw yang berupa perkataan, perbuatan serta taqrir nabi saw.

 

 

B.     MACAM-MACAM SUNNAH

1)      Sunnah Qauliyah

Yaitu ucapan nabi yang didengar oleh sahabat beliau dan disampaikannya kepada orang lain[4]. Sunnah qauliyah tidak sama dengan Al-Qur’an.

Perbedaannya terletak pada[5] :

ü  Periwayatan, yaitu al-Qur’an diriwayatkan dengan jalan mutawatir dan juga penukilan lafadz dan artinya sesuai dengan yang didengar dari Nabi saw, sedangkan sunnah tidak mutawatir dan periwayatannya biasanya diloakukan dengan cara maknawi.

ü  Rasul menyuruh sahabat untuk lebih mengutamakan Al-Qur’an dari pada sunnah beliau sendiri, dengan adanya perintah untuk menuliskannya dan juga larangan dalam penulisan Al-Qur’an.

ü  Jika lafadz yang dibaca Nabi itu adalah ayat Al-Qur’an, mempunyai daya pesona serta, mukijizat bagi pendengarnya. Hal seperti ini tidak mereka dapatkan jika yang beliau baca adalah sunnah.

Misalnya hadits nabi Muhammad saw berikut ini :  

ﺇﻧﻣﺎﺍﻷﻋﻣﺎﻝﺒﺎﺍﻠﻧﻳﺎﺖ 

artinya : “segala amalan itu tergantung niat orang yang mengamalkan”. (HR. Bukhari dan Muslim)

2)      Sunnah Fi’liyah

Yaitu segala perbuatan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw, yang dilihat dan diketahui oleh sahabat kemudian disampaikan kepada orang lain dengan perkataan para sahabat itu sendiri[6]. Misalnya, cara-cara mendirikan shalat dan juga cara-cara melaksanakan ibadah haji, yang mana para sahabat melihat Rasulullah SAW mengerjakannya dan kemudian sahabat menyampaikannya kepada umat islam yang lain dengan caranya sendiri, dan tentunya tidak menyalahi cara-cara yang dikerjakan nabiMuhammad SAW. Misalnya dalam hadits nabi yang berbunyi :

ﺻﻠﻮﻛﻣﺎﺮﺃﻳﺗﻣﻮﻧﻲﺃﺻﻠﻰ

Artinya : “shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat” (HR. Bukhari Muslim dari Malik Ibn Huwairits)

Begitu juga dalam hadits tentang haji, yaitu :

ﺧﺫﻮﻋﻧﻲﻣﻧﺎﺴﻛﻛﻢ

artinya : “ ambillah dariku cara mengerjakan haji” (HR. Muslim dari Jabir )

namun dalam sunah fi’liyah terdapat tiga pembagian[7], yaitu:

a.       perbuatan yang termasuk dalam tabiat manusiawi (jibillah). Seperti makan, minum, tidur, dan sebagainya yang biasanya dihukumi mubah. Sunnah dalam hal ini boleh dilakukan oleh Rasulullah dan juga oleh seluruh umat islam didunia.

b.      Perbuatan yang khusus dilakukan oleh Nabi Muhammad saw  seperti kewajiban melakukan shalat tahajjud dimalam hari, kewajiban bermusyawarah, diperbolehkannya wishal dalam berpuasa,boleh menikahi lebih dari empat wanita, dan perbuatan-perbuatan lain yang khusus boleh dilakukan oleh Nabi saw.

c.       Perbuatan beliau yang berfungsi untuk menjelaskan hukum-hukum Allah, seperti penjelasan terhadap perintah dan larangan-Nya.

Jenis ini adalah petunjuk Nabi Muhammad saw  yang tunduk pada hokum taklifi ; yaitu wajib, sunah, haram atau pembatasan terhadap maksud Allah.

d.      Perbuatan-perbuatan yang tidak termasuk tabiat kemanusiaan, bukan pula perbuatan yang khusus dilakukan beliau dan tidak pula perbuatan beliau yang berfungsi untuk menjelaskan syara’.

3)      Sunnah Taqririyyah

Perbuatan seorang sahabat atau ucapannya yang dilakukan dihadapan atau sepengetahuan Nabi, tetapi tidak ditanggapi atau dicegah oleh Nabi SAW. Diamnya Nabi tersebut disampaikan oleh sahabat yang menyaksikan kemudian disampaikan kepada orang lain dengan ucapannya sendiri[8]. Misalnya hadits Nabi tentang pembolehan makan biawak. Artinya : “tidak, hanya saja binatang ini tidak ada dinegeriku (karena itu aku tidak suka memakannya), makanlah, sesungguhnya itu halal”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Sebagaimana hadits yang berbunyi :

ﻻ, ﻮﻠﻛﻧﻪﻠﻳﺲﻓﻲﺃﺮﺾﻗﻮﻤﻲ, ﻛﻠﻮﻓﺈﻧﻪﺤﻼﻞ

C.    FUNGSI SUNAH BAGI AL-QUR’AN

a)      Sunnah sebagai ta’kid ( penguat ) terhadap Al-Qur’an

Dalam hal ini Sesuatu yang sudah ditetapkan oleh Al-Qur’an ditetapkan kembali oleh Rasul  dalam sunnah atau sunnah hanya seperti mengulangi apa-apa yang ada dalam Al-Qur’an. Misalnya :

ﻮﺃﻗﻴﻤﻮﺍﺍﻠﺼﻼﺓﻮﺍﺗﻮﺍﺍﻠﺰﻛﺎﺓ...(ﺍﻟﺒﻗﺭ:۱۱۰)

Artinya : “ dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat”

Ayat diatas dikuatkan dengan sabda Nabi saw :

ﺒﻨﻲﺍﻹﺴﻼﻡﻋﻟﻲﺨﺱﺸﻬﺎﺩﺓﺃﻥﻵﺇﻟﻪﺇﻻﺍﷲﻭﺃﻥﻤﺤﻤﺩﺍﺭﺴﻭﻝﺍﷲﻭﺇﻘﺎﻡﺍﻠﺼﻼﺓﻭﺇﻴﺘﺎﺀﺍﺯﻜﺎﺓ

Artinya : “ idslam itu dfidirikan dengan likma pondasi, kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat…..

b)      Sunnah sebagai tabyiin ( penjelas ) Al-Qur’an.

§  Menjelaskan arti yang masih samar dalam Al-Qur’an.

Misalnya menjelaskan arti kata shalat yang masih samar atau ijmal karena mungkin arti kata tersebut adalah do’a, sebagaimana yang diketahui oleh masyarakat pada masa itu. Kemudian Rasul melakukan shalat dan berkata

ﺻﻠﻮﻛﻣﺎﺮﺃﻳﺗﻣﻮﻧﻲﺃﺻﻠﻲ

§  Merinci apa yang dalam al-Qur’an masih disebutkan secara garis besar.

Misalnya merinci tentang masalah waktu-waktu shalat yang secara garis besar disebutkan dalam surat an-Nisa’ : 103 :

ﺇﻥﺍﻠﺼﻼﺓﻜﺎﻨﺕﻋﻠﻰﺍﻠﻤﺅﻤﻨﻴﻥﻜﺘﺎﺒﺎﻤﻭﻘﻭﺘﺎ (ﺍﻠﻨﺴﺎﺀ : ۱۰۳)

Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman ( an-Nisa’ : 103 )

Ayat ini dirinci oleh sabda Nabi saw dari Abdullah bin amr, yaitu :

ﻭﻘﺕﺍﻠﻅﻬﺭﺇﺫﺍﺯﺍﻠﺕﺍﻠﺸﻤﺱﻭﻜﺎﻥﻅﻝﺍﻠﺭﺠﻝﻜﻁﻭﻠﻪﻭﻠﻡﻴﺤﻀﺭﺍﻠﻌﺼﺭﻭﻭﻗﺕﺍﻠﻌﺼﺭ ﻤﺎﻠﻡﺘﺼﻔﺭﺍﻠﺸﻤﺱﻭﻭﻗﺕﺼﻼﺓﺍﻠﻤﻐﺭﺏﻤﺎﻠﻡﻴﻐﻴﺏﺍﻠﺸﻓﻕﻭﻭﻗﺕﺼﻼﺓﺍﻠﻌﺸﺎﺀﺇﻠﻲﻨﺼﻑ ﺍﻠﻠﻴﻠﻰﺍﻷﻭﺴﻁ ﻭﻭﻗﺕﺼﻼﺓﺍﻠﺼﺒﺢﻤﻥﻁﻠﻭﻉﺍﻠﻓﺠﺭﻤﺎﻠﻡﺘﻁﻟﻊﺍﻠﺸﻤﺱ

Artinya : “ waktu zuhur adalah apabila matahari sudah condong dan baying-bayang orang sama dengan panjangnya, sementara waktu asar belum tiba, waktu asar adalah selama matahari belum menguning, waktu maghrib adalah selama mega belum hilang, waktu shalat isya’ adalah sampai pertengahan malam, dan waktu shalat subuh adalah sejak terbitnya fajar selam matahari belum terbit”. ( HR. Muslim )

§  Membatasi apa-apa yang dalam al-Qur’an disebutkan secara umum

Misalnya ayat tentang hak kewarisan, yaitu :

ﻴﻭﺼﻴﻜﻡﺍﷲﻔﻲﺃﻻﺩﻜﻡﻠﻠﺫﻜﺭﻤﺜﻝﺤﻅﺍﻷﻨﺜﻴﻴﻥ (ﺍﻠﻨﺴﺎﺀ : ١١)

Artinya : “Allah mensyariatklan bagimu tentang pembagian pusaka untuk ) anak-anakmu. Yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan. ( an-Nisa’ : 11)

Ayat diatas dibatasi dengan hadits nabi dari amru bin syu’eib menurut riwayat an-Nasa’I dalam ad-Daruquthni :

ﻠﻴﺱﻠﻠﻗﺎﺘﻝﻤﻥﺍﻠﻤﻴﺭﺍﺙﺸﺊ

Artinya : “ tiada harta warisan bagi si pembunuh”.

§  Memperluas sesuatu yang tersebut dalam al-Qur’an

Misalnya ayat tentang larangan memadu dua orang wanita yang bersaudara, yaitu:

ﻭﺃﻥﺘﺠﻤﻌﻭﺍﺒﻴﻥﺍﻷﺨﺘﻴﻥ...(ﺍﻠﻨﺴﺎﺀ :۲۳)

Artinya : “dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau”.

Ayat ini diperluas oleh nabi dengan hadits dari Abu Hurairah berikut ini :

ﻻﻴﺠﻤﻊﺒﻴﻥﺍﻠﻤﺭﺃﺓﻭﻋﻤﺘﻫﺎﻭﻻﺒﻴﻥﺍﻠﻤﺭﺃﺓﻭﺨﺎﻠﺘﻫﺎ

Artinya : “Tidak boleh memadu perempuan dengan saudara ayahnya dan tidak boleh pula antara perempuan dengan saudara ibunya”.

c)      Rasul menetapkan suatu hukum dalam sunnah yang secara jelas tidak terdapat dalam Al-Qur’an atau sebagai itsbat /insya’.

Sebenarnya bila diperhatikan dengan seksama akan jelas bahwa apa yang di tetapkan sunah itu pada hakikatnya adalah penjelasan apa yang telah disinggung al-Qur’an atau memperluas apa yang disebutkanal-Qur’an secara terbatas. Misalnya haramnya bangkai, darah, dan daging babi, yaitu:

ﺤﺭﻤﺕﻋﻠﻴﻜﻡﺍﻠﻤﻴﺘﺔﻭﺍﻠﺩﻡﻭﻠﺤﻡﺍﻠﺤﻨﺯﻴﺭ ( ﺍﻠﻤﺎﺌﺩﺓ : ۳)  

Artinya : “diharamkan bagimu memakan bangkai, darah, dan daging babi

            Kemudian NabiMuhammad saw menetapkan haramnya binatang buas dan burung buas dalam hadits dari Abu Hurairah berikut ini :

ﻜﻝﺫﻱﻨﺎﺏﻤﻥﺍﻠﻠﺸﺒﺎﻉﻔﺄﻜﻠﻪﺤﺭﺍﻡ

Artinya : “ setiap binatang buas yang bertaring, haram dimakan”.

Hadits diatas jika dilihat dari segi redaksinya, kata-katanya tidak sama dengan al-Qur’an namun jika dikaji lebih lanjut, maksudnya hamper sama dengan ayat 3 surat al-Maidah diatas.

D.    KEHUJJAHAN SUNNAH

Bukti-bukti atas kehujjahan sunnah[9], antara lain:

1)      Nash-nash al-Qur’an

Yaitu ayat-ayat al-Qur’an yang menyuruh kita untuk mentaati Rasul, seperti dalam ayat berikut ini :

ﻗﻞﺍﻄﻴﻌﻮﺍﷲﻮﺍﻄﻴﻌﻮﺍﺍﻠﺮﺴﻮﻞ

Artinya : “ taatlah kepada Allah dan Rasul (QS. Ali ‘imran : 32)

Juga dalam firman Allah :

ﻮﻤﻥﻴﻄﻊﺍﻠﺮﺴﻮﻞﻔﻗﺪﺍﻄﺎﻉﺍﷲ

Artinya : “barang siapa yang mentaati rasul itu, maka sesungguhnya ia telah mentaati Allah (QS. An-Nisa’ : 80 )

2)      Ijma’ para sahabat

Seperti apa yang dikatakan oleh Muadz bin Jabal berikut ini :

ﺇﻦﻠﻢﺃﺠﺪﻓﻲﻛﺗﺎﺐﺍﷲﺣﻛﻢﻤﺎﺃﻗﻀﻰﺒﻪﻗﻀﻴﺖﺒﺴﻧﺔﺮﺴﻮﻞﺍﷲ

Artinya : “jika saya tidak menemukan didalam kitab Allah hukum yang akan saya pergunakan untuk memutuskan, maka saya memutuskan hukum berdasarkan sunnah Rasulullah”.

3)      Adanya ayat Al-Qur’an yang tidak dijelaskan secara rinci oleh Allah melainkan hanya dijelaskan secara global.misalnya :

ﻛﺗﺐﻋﻠﻴﻛﻢﺍﻠﺼﻴﺎﻢ

Artinya : “…diwajibkan atas kamu berpuasa…” (QS. Al-Baqarah : 183)

Al-Qur’an hanya mewajibkan kepada kita untuk melakukan puasa tanpa adanya petunjuk seprti apakah puasa itu, bagaimana metodenya, apa yang boleh dan tak boleh dilakukan oleh orang yang melaksanakan ibadah puasa.

E.     BID’AH YANG BERKAITAN DENGAN SUNAH

Imam Asy-syatibi berkata, “bid’ah adalah jalan dalam agama yang dibuat-buat, yang menyerupai syari’at, yang dilakukan dengn tujuan berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah[10]”.

Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw, yang berbunyi:

ﻤﻥﺃﺤﺩﺙﻔﻲﺃﻤﺭﻨﺎﻫﺫﺍﻤﺎﻠﻴﺱﻤﻨﻪﻔﻬﻭﺭﺩ

Artinya : “barang siapa yang membuat-buat (hal baru) dalam urusan kita ini (agama kita) yang tidak ada padanya ( pada agama ), maka ia ditolak”.

Bid’ah itu adanya dalam masalah keagamaan, yaitu segala hal yang baru yang menyerupai syari’at namun tidak sesuai dengan syari’at agama islam.

Bid’ah terbagi menjadi dua[11], yaitu:

a)      Bid’ah Hakiki

Yaitu hal baru yang ada dalam agama dengan tidak berdasar pada dasar-dasar yang telah ada dalam agama. Artinya hal baru tersebut tidak sesuai dengan syara’, baik dari Al-Qur’an, As-Sunah ataupun ijma’. Hal baru ini murni buatan manusia dan dimasukkan kedalam agama dengan tujuan tertentu oleh pelakunya. Tujuannya bisa benar bisa juga salah. Misalnya membangun kuburan, membangun kubah diatasnya, dan menghiasi masjid.

b)      Bid’ah Idhafiyah

Yaitu apa yang dibuat-buat dalam agama yang ada dalilnya dari Al-Qur’an, As-Sunah, atau ijma’ yang mana keberadaannya disandarkan kepada salah satu dari ketiganya itu, akan tetapi ia merupakan bid’ah dilihat dari sisi bahwa ia adalah tambahan terhadap apa yang telah disyariatkan oleh Allah dan Rasulnya. Misalnya adalah dzikir dengan berkelompok secara bersama-sama. Karena Allah hanya mensyariatkan untuk melakukan dzikir namun tidak dengan bersama-sama melainkan hanya perorangan sehingga jika dzikir itu dilakukan dengan berkelompok maka dikatakan sebagai bid’ah yang diada-adakan karena cara itu tidak pernah diajarkan pada masa Rasulullah saw.

 

 

 

BAB IV

KESIMPULAN

            Dari pembahasan diatas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwasannya sunah adalah segala hal yang berasal dari Rasulullah saw, yang berupa perkataan, perbuatan, serta ketetapan nabi Muhammad saw. Namun antara para pakar ilmu memberikan arti yang berbeda-beda terhadap pengertian sunah.

            Sunah dibagi menjadi tiga, yaitu sunah qauliyah, fi’liyah, serta taqririyah yang mana para ahli hadits bersepakat bahwa ketiga hal tersebut hanyalah yang datang dari Rasulullah saw sedangkan kaum syiah berpendapat bahwa sunah tidak hanya yang datang dari Rasulullah saw akan tetapi juga yang berasal dari ahlul bait.

Sunah berfungsi sebagai dasar hukum islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Dalam hal ini sunah juga berfungsi sebagai penjelas, penguat dan juga menetapkan hukum baru (insya’).  

BAB V

PENUTUP

Demikian makalah yang dapat kami sampaikan,  kami mengetahui banyak kekurangan dan kesalahan dalam makalah ini meskipun begitu tak menyurutkan harapan kami agar makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Amin.

 

DAFTAR PUSTAKA

v  Abu aziz, Sa’ad Yusuf, Sunnah dan bid’ah, Jakarta : pustaka Al-Kautsar, 2006

v  Kholaf, Abdul Wahab, Ilmu ushul Fiqh, Semarang : Dina Utama, 1994

v  Syarifuddin, Amir, ushul fiqh 1, Jakarta, 2008

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



[1] Amir syarifuddin, ushul fiqh 1: Jakarta, 2008, h.86

[2] Ibid, h.87

[3]ibid, h.89

[4] ibid, h.89

[5] ibid, h.90

[6] ibid, h.89

[7] Sa’ad Yusuf Abu Aziz, Sunnah dan bid’ah, Jakarta:Pustaka Al-Kautsar, 2006, h.25

[8] Opcit, h.89

[9] Abdul Wahab Kholaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994, h.42

[10] Opcit, h.29

[11] Opcit, h.30

Tidak ada komentar: