Ngekrest blogspot.com
-

Jumat, 04 Juni 2010

sumber-sumber hukum tata negara

SUMBER SUMBER HUKUM TATA NEGARA

 

Abstrak

Masalah hukum telah menjadi permasalahan krusial yang semakin aktual berfluktuasi menjadi tema relevan yang gempar diperbincangkan. Hal ini telah banyak mengundang perhatian publik. Lebih dari itu, permasalahan tata hukum dan sumber hukum, khususnya hukum tata Negara telah menjadi problema multidimensi karena sebab dan akibatnya berkelitkelindan secara komprehensif.

Hukum sendiri timbul dari kesadaran hukum suatu bangsa. Tetapi pandangan ini tidak begitu saja merupakan hukum yang berlaku secara positif. Pandangan-pandangan hidup pada dasarnya masih samar-samar (abstrak) dan belum terarah. Masih berkutat dalam tataran cita-cita hukum bagi bangsa (ius constituendum).

Secara logika, tampak bahwa untuk membawa pandangan hidup pada peratutan hukum yang berlaku secara positif (ius constitum) di dalam masyarakat, maka pandangan hidup tersebut harus di tuangkan dalam bentuk tertentu. Misalnya dalam bentuk undang-undang, kebiasaan, yurisprudensi, dan lain-lain.

Hukum positif yang baik dan efektif adalah hukum yang sesuai dengan living law yang sebagai inner order dari masyarakat mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalamnya. Oleh karena itu, merupakan sebuah keharusan dalam pembentukan undang-undang harus banyak memperhatikan apa yang ada dan berkembang dalam realitas kehidupan masyarakat.

Ahli hukum yang sekarang menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi, tokoh jebolan Madura, Prof. Dr. Mahfud MD, mengatakan dalam bukunya bahwa untuk mewujudkan kepastian dan keserasian dalam hukum serta kesatuan tafsiran, maka perlu secara riil dan objektif adanya pendikotomian sumber hukum tata Negara. Selama ini, timbul anggapan sinis bahwa yang merupakan sumber hukum hanya pada teks-teks yang telah terkodifikasi. Selain itu bukanlah sumber hukum.

Secara tidak langsung, abstraksi ini menunjukkan bahwa—secara tersirat—  penyebab adanya hukum tidak lain adalah orang yang menentukan peranan dalam menentukan tentang apa yang harus menjadi hukum di dalam Negara (welbron). Wujudnyapun dituangkan dalam living law yang mencerminkan nilai-nilai hidup di dalam masyarakat.

Tapi benarkah tak serigid pandangan masyarakat bahwa sumber hukum tidak hanya sebatas undang undang yang tertulis dan sudah menjadi trend pangakuan dalam tata Negara. Problem pelik seperti ini yang harus kita analisis untuk menepis stigma tersebut.

Dewasa ini, sumber hukum bisa kita tilik dari berbagai sisi sesuai dengan frame dan realitas yang ada. Namun, dari abstraksi ini akan sedikit banyak meneropong dan menganalisis lebih jauh sumber hukum tata Negara, baik sumber hukum secara materill maupun formil. Makalah ini lebih menekankan pada titik “analisa” dan pada akhirnya bisa memberikan sebuah “hipotesa” akurat yang bisa kita manfaatkan.

 

Rumusan Masalah

Berdasarkan abstraksi diatas, maka yang menjadi pokok masalah utama dalam makalah ini adalah bagaimana potret dan model serta seluk beluk sumber hukum tata Negara, termasuk juga di Indonesia. Pokok masalah tersebut dirinci dalam beberapa sub masalah sebagai berikut  :

1.      Apakah definisi kongkrit dan riil dari pada sumber hukum itu?

2.      Faktor apa sebenarnya yang menyebabkan adanya tinjauan pendikotomian sumber hukum secara materiil dan formil ?

3.      Secara ringkas, apa saja yang termasuk sumber hukum tata Negara?

4.      Dalam konteks Indonesia, apa saja yang termasuk sumber hukum tata Negara?

 

 

PEMBAHASAN

A. Definisi Sumber Hukum

Sumber hukum secara jelas mempunyai arti dalam kamus-kamus besar Bahasa Indonesia adalah segala sesuatu yang berupa tulisan, dokumen, naskah, dan lain lain, yang dipergunakan oleh suatu bagsa sebagai pedoman hidupnya pada masa tertentu[1].

Salah satu pakar hukum yang baru meninggal beberapa bulan lalu, Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa sumber yang melahirkan hukum digolongkan dari dua kategori yaitu sumber yang bersifat hukum dan yang bersifat sosial. Sumber yang bersifat hukum merupakan sumber yang diakui oleh hukum sendiri sehingga secara langsung bisa melahirkan atau menciptakan hukum.

Usep Ranawijaya dalam bukunya, Hukum Tata Negara Indonesia Dasar dasarnya, mengemukakan bahwa perkataan sumber hukum sebenarnya mempunyai dua arti. Pertama : Sumber hukum sebagai penyebab adanya hukum. Kedua : Sumber hukum dalam arti bentuk perumusan dari kaidah kaidah hukum tata Negara yang terdapat di dalam masyarakat sehingga kita dapat mengetahui apa yang menjadi hukum itu sendiri (kenborn).

Pengertian seperti ini menunjukkan bahwa sumber hukum terdiri dari segala sesuatu yang menentukan isi dari hukum (sumber hukum ditinjau dari aspek materill) dan sumber hukum yang menunjukkan pada bentuk perumusan kaidah kaidah hukum (sumber hukum dalam pengertian formil).

Donner mengemukakan bahwa sumber hukum adalah ajaran yang memberikan ukuran atau kriteria apakah suatu ketentuan itu berlaku umum atau tidak. Jika ketentuan itu berlaku umum maka disebut hukum, jika tidak berlaku umum maka bukan merupakan hukum[2]. Donner, lebih lanjut mengajukan kriteria yang bisa menentukan apakah suatu ketentuan itu berlaku umum atau tidak, ukuran dan kriteria itu adalah :

a.       Ukuran materill, yakni ukuran yang dipergunakan untuk menilai apakah isi dari ketentuan tersebut dapat menjadi ketentuan hukum atau tidak.

b.      Ukuran formil, yaitu ukuran yang dipergunakan untuk menialai apakah proses pembentukan suatu hukum dapat dipenuhi, atau proses mempositifkan ketentuan yang berlaku umum menjadi ketentuan hukum.

Proses pembentukan yang dimaksud adalah :

1.      Perumusan

2.      Pembahasan

3.      Pengesahan

4.      Pemberlakuan

Berdasarkan kedua ukuran tersebut, maka dikenal adanya sumber hukum materill yang menyangkut isi sebuah ketentuan itu berlaku umum atau tidak, dan sumber hukum formil menyangkut proses pembentukan atau proses mempositifkan suatu ketentuan umum menjadi ketentuan hukum.

B. Sumber Hukum Tata Negara

Menurut  Edward Jenk, terdapat  tiga sumber  hukum yang biasa  ia  sebut  dengan  istilah  forms of law” yaitu: Statutory, Judiciary dan Literaty. Menurut  G.W. Keeton, sumber hukum terbagi atas : Binding Sources (formal), yang terdiri dari: custom, legislation, judicial precedents. Dan Persuasive Sources (materiil), yang terdiri dari Principles of morality or equity, professional opinion[3].

 

Sedangkan sumber hukum menurut Sudikno  Mertokusumo  yaitu terbagi atas dua hal :

1. Sumber  Hukum  Materiil  adalah  tempat  dari  mana  materi  itu  diambil. Sumber  hukum  materiil  ini  merupakan  faktor  yang    membantu pembentukan  hukum, misalnya  hubungan  sosial, hubungan  kekuatan politik, situasi  sosial  ekonomis, tradisi  (pandangan  keagamaan,  kesusilaan), hasil penelitian ilmiah, perkembangan internasional,  keadaan geografis.

2. Sumber  Hukum Formal merupakan tempat  atau  sumber dari  mana  suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. Hal  ini berkaitan dengan bentuk atau  cara  yang menyebabkan  peraturan  hukum  itu  formal berlaku. Yang diakui umum  sebagai  sumber  hukum  formal ialah  UU, perjanjian  antar negara, yurisprudensi dan kebiasaan.

 

1.                  Sumber Hukum secara Materill

Sumber hukum itu dapat kita tinjau dari segi materill dan segi formal. Bertitik tolak dari pandangan ini, jika pandangan ini diterapkan dalam konteks Hukum tata Negara, maka dapat ditarik sebuah pemahaman yang tertafsil.

Sumber hukum secara materill dapat ditinjau dari pelbagai sudut, misalnya dari kacamata ekonomi, sejarah, sosiologi, filsafat. Contohnya :

a.       Seorang ahli ekonomi akan menyatakan bahwa kebutuhan-kebutuhan ekonomi dalam masyarakat itulah yang menyebabkan timbulnya hukum.

b.      Seorang ahli kemasyarakatan (sosiolog) akan engatakan bahwa yang menjadi sumber hukum adalah peristiwa peristiwa yang terjadi dalam masyarakat[4].

Dalam konteks Indonesia, bisa kita katakan bahwa sumber hukum materill dari hukum tata Negara Indonesia adalah isi dari suatu ketentuan yang berlaku umum, dan bagi bangsa Indonesia tidak lain adalah Pancasila yang berkedudukan sebagai Staatsfundamentalnorm[5]. Dalam kedudukan yang demikian ini pancasila dapat dikategorikan sebagai isi dari ketentuan yang berlaku umum karenan pancasila merupakan kristalisasi dari nilai- nilai yang hidup dan melekat di dalam masyarakat dan bangsa Indonesia. Nilai nilai tersebut telah diakui kebenarannya serta menjadi pedoman hidup (way of life) masyarakat dan bangsa Indonesia.

Dengan demikian pancasila yang terdiri dari lima prinsip (the five principles) merupakan manifestasi isi dari berbagai ketentuan yang berlaku umum sehingga nilai nilai tersebut merupakan isi dari hukum.

Dari analisis ini, bisa diambil konklusi singkat dan praktis bahwa pancasila adalah sumber hukum tata Negara dalam arti materill dan pancasila merupakan sumber dari segala hukum[6].

2.                  Sumber Hukum secara Formil

Sumber hukum tata Negara formil tidak lain adalah seluruh tahapan proses untuk membentuk suatu ketentuan umum menjadi ketentuan hukum. Dengan kata lain, adalah suatu semua tahapan mempositifkan suatu ketentuan umum menjadi ketentuan hukum. Dalam kaitan dengan hal inilah, maka bentuk dari sumber hukum tata Negara formil adalah :

a.      Undang-undang

Undang undang adalah suatu peraturan Negara yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat diadakan dan dipelihara oleh penguasa Negara. Perundang undangan disini adalah proses yang dilakukan oleh alat alat perlengkapan Negara untuk membentuk ketentuan umum menjadi ketentuan hukum yang mengikat dan dituangkan dalam satu kitab (kodifikasi).

Hasil dari proses ini bisa dalam bentuk undang undang[7], peraturan pemerintah, peraturan presiden maupun peraturan daerah, yang kesemunya itu bersifat pengaturan.

Menurut Buys, undang undang mempunyai dua arti :

a.       Undang undang dalam arti materill

Undang undang dalam arti materill disini adalah setiap keputusan pemerintah menurut isinya mengikat langsung setiap penduduk (suat daerah). Berdasarkan teori Buys, maka setiapa keputusan pemerintah dapat dikatakan sebagai undang undang yang jika ditinjau dari segi isinya ataupun materinya dapat mengikat setiap penduduk yang dikenainya (dalam arti kata materill).

Peraturan peraturan seperti keputusan pemerintah, dari segi materinya dapat mengikat setiap penduduk suat daerah yang dikenainya. Walaupun peraturan tersebut jika kita lihat dari segi bentuknya atau cara terjadinya bukan merupakan undang undang atau belum dapat dikatakan undang undang dalam arti formal.

b.      Undang undang dalam arti formal

Undang undang dalam arti formal ialah setiap keputusan pemerintah yang merupakan undang undang karena cara pembuatannya (misalnya dibuat pemerintah bersama dengan parlemen).

Dari teori tersebut, setiap keputusan pemerintah jika dilihat dari segi bentuk terjadinya dapat dikatakan sebagai undang undang. Keputusan pemerintah itu harus dibentuk oleh lembaga yang berwenang melalui mekanisme kerja. Hukum dasar dalam penyelenggaraan pemerintah adalah konstitusi[8]. Di dalamnya terdiri dari undang undang dasar (konstitusi tertulis) dan konvensi (konstitusi tidak tertulis).

Undang undang juga mempunyai asas[9]. Dan mulai berlakunya suatu undang undang adalah menurut tanggal yang ditentukan dalam undang undang itu sendiri, biasanya disebutkan dalam salah satu pasalnya bahwa undang undang ini berlaku saat diundangkan. Namun apabila tidak sisebutkan dalam undang undang, maka mulai berlakunya 30 hari setelah diundangkan dalam lembaran Negara (untuk daerah Jawa dan Madura) dan 100 hari setelah diundangkan untuk daerah luar Jawa dan Madura.

Syarat berakhirnya kekuatan berlakunya suatu undang undang di tentukan sebagai berikut :

a. Undang undang berakhir apabila jangka waktunya telah sampai pada waktu yang telah ditentukan di dalam undang undang itu sendiri.

b. Undang berakhir apabila telah di hapuskan atau dicabut kembalai dengan udang undang yang baru .

c. Undang udang berakhir apabila yang baru telah memuat ketentuan ketentuan yang berlainan dengan ketentuan yang ada di dalam undang undang yang lama[10].  

b.      Yurisprudensi (Keputusan Hakim)

Yurisprudensi adalah proses penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim berdsarkan kasus kasus kongkrit yang terjadi dalam masyarakat yang kemudian menjadi preseden bagi kepuutusan keputusan hakim selanjutnya.

Kalau kita melihat sejarah dahulu, peraturan pokok pertama pada zaman Hindia Belanda dahulu ialah algemene bepalingen van watgeving voor Indonesia yang disingkat AB (ketentuan umum tentang peraturan perundangan untuk Indonesia).

AB ini dikeluarkan pada tanggal 30 April 1487 yang termuat dalam Staatsblad 1847 no 23 dan hingga saat ini masih berlaku berdasarkan pasal II aturan peralihan undang undang dasar 1945 yang menyatakan : “Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut undang undang”.

Secara tersurat pasal 22 AB tertulis : “ de regter, die wegert regt ie spreken onderr voorwendsel van stilzwijgen, duesterheind der wet kan uit hoofed van rechtswijgering vervolgd worden”, yang mengandung arti “hakim yang menolak untuk menyelesaikan suatu perkara dengan alasan bahwa peraturan perundang undangan yang bersangkutan tidak menyebutkan, tidak jelas atau tidak lengkap, maka ia dapat dituntut untuk dihukum karena menolak mengadili”. Jelas, dari pasal 22 AB bahwa seorang hakim mempunyai hak  untuk membuat peraturan sendiri untuk menyelesaikan suat perkara[11].

Tampaknya, anggapan yang menyatakan bahwa sumber hukum satu satunya adalah undang undang dan diluar undang undang tiada hukum (legisme), ternyata anggapan itu pada saat sekarang telah ditinggalkan orang. Kelemahan dari anggapan tersebut diantaranya adalah banyaknya perkara yang tidak diatur, tidak lengkap, dan tidak sempurna.

Undang undang tidak selamanya mampu memenuhi segala sesuatu yang menyangkut kebutuhan hukum dalam masyarakat. Dengan tidak mampunya undang undang mengatur segala peristiwa hukum yang ada di masyarakat, maka hakim pada waktu terpaksa memberikan suatu keputusan yang tidak langsung berdasarkan atas suatu peraturan hukum tertulis (undang undang).

Jadi yurisprudensi ialah keputusan hakim terdahulu yang sering diikuti dan dijadikan dasar keputusan oleh hakim selanjutnya pada kasus yang sama.

Faktor-faktor yang menyebabkan seorang hakim mengikuti keputusan hakim terdahulu antara lain sebagai berikut:

1.      Sebab psikologis.

Keputusan hakim mempunyai kekuasaan, terutama keputusan Mahkamah Agung dan pengadilan tinggi.

2.      Sebab praktis.

Karena pertimbangan praktis, seorang hakim member keputusan yang lebih tinggi daripada yang pernah dijatuhkan atas perkara yang sifatnya sama.

3.      Sebab persetujuan pendapat.

Hakim mengikuti keputusan hakim lain karena merasa sependapat dengan keputusan itu.

Ada dua macam yurisprudensi yaitu :

a.       Yurisprudensi tetap

b.      Yurisprudensi tidak tetap

Yurisprudensi tetap adalah keputusan hakim yang terjadi karena rangkaian keputusan serupa dan yang menjadi dasar bagi pengadilan (standard-arresten) untuk mengambil keputusan. Di dalam suatu standard arrest hakim memberi secara prinsipil penyelesaian tentang suatu hal yang telah lama membangkitkan keraguan dikalangan pengadilan, administrasi Negara.

Seorang hakim mengikuti keputusan hakim yang terdahulu itu karena ia sependapat dengan isi keputusan tersebut dan hanya dipakai sebagai pedoman dalam mengambil suatu keputusan mengenai suatu perkara yang serupa. Disini terkuak dan terlihat jelas bahwa yurisprudensi adalah sumber hukum tersendiri.

 

c.       Kebiasaan atau Konvensi

Tatanan kebiasaan merupakan tatanan yang norma-normanya sangat dekat dengan kenyataan kehidupan sehari-hari. Hal ini disebabkan karena kebutuhan masyarakat yang begitu rumit, kompleks dan selalu berubah-ubah, sedangkan undang-undang yang berlaku secara positif dan telah terkodifikasi belum tentu dapat memenuhi kebutuhan hukum dalam kehidupan masyarakat, sehingga terbentuklah suatu tatanan yang disepakati berlaku terhadap anggota masyarakat. Apa yang biasa dilakukan oleh orang-orang, itulah yang kemudian dapat menjelma menjadi norma kebiasaan. Meskipun norma kebiasaan tersebut tidak terbentuk dari usaha yang dilakukan secara sadar oleh manusia melalui badan perundang-undangan, tetapi tatanan kebiasaan dalam suasana kenyataan (werkelijkheid) ditaati dalam masyarakat dan diterima serta diyakini sebagai kaidah hukum.

Syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi kebiasaan dalam masyarakat agar dapat disebut sebagai hukum pada prinsipnya adalah kebiasaan itu haruslah merupakan suatu tindakan menurut garis tingkah laku yang tetap dan bagi mereka yang melakukan pada umumnya menimbulkan kesadaran bahwa mereka sudah semestinya melakukan tindakan itu berdasarkan keyakinan mereka untuk memenuhi kewajiban hukum[12]. Keyakinan terhadap suatu tindakan menurut garis tingkah laku yang tetap dalam masyarakat tersebut bukanlah merupakan keyakinan perorangan (individu) dalam masyarakat, tetapi haruslah merupakan keyakinan dalam lingkungan masyarakat tempat kebiasaan itu terjadi. Jadi, dengan demikian dalam suatu kebiasaan tidak diperlukan keyakinan hukum seseorang tetapi keyakinan hukum masyarakat/golongan (lihat Van Apeldorn, 1985).

Mayoritas ahli hukum beranggapan bahwa agar suatu kebiasaan ditaati dalam suatu masyarakat maka harus dipenuhi dua syarat berikut :

1.      Syarat yang bersifat materiil, yaitu harus ada tindakan yang tetap dilakukan oleh orang.

2.      Syarat yang bersifat psikologis dalam arti bukanlah psikologis perorangan melainkan psikologis golongan, yaitu adanya keyakinan akan kewajiban hukum dalam golongan (opinio necessitatis).

Dengan demikian walaupun hukum kebiasaan bukan merupakan peraturan tertulis di dalam peraturan perundang-undangan, tetapi kekuatannya kadangkala sama dengan hukum tertulis. Bahkan ada hukum kebiasaan yang lebih kuat daripada peraturan tertulis (undang-undang) dan dapat menyampingkan peraturan hukum tertulis tersebut (hukum kebiasaan yang derogatur/derogatoir gewoonterecht). Sedangkan suatu peraturan kebiasaan yang bertentangan dengan suatu peraturan perundang-undangan dan yang menyampaikannya disebut hukum kebiasaan yang deregotur (deregotoir gewoonterecht).

Kebiasaan yang umum berlaku untuk seluruh anggota masyarakat, masih memerlukan pengakuan dari pihak penguasa yang tidak termasuk lingkungan badan perundang-undangan untuk dapat menjadi hukum kebiasaan. Pengakuan tersebut dapat dinyatakan dalam keputusan hakim.

a.       Aliran-aliran yang menentang hukum kebiasaan

Aliran ini terkenal dengan nama aliran Positivisme perundang-undangan (wettelijk positivisme) atau Legisme. Pendapat aliran ini adalah bahwa tidak ada hukum di luar undang-undang, hanya undang-undang yang menjadi sumber hukum satu-satunya.

Aliran ini dianut oleh sejumlah sarjana hukum dan filosof di zaman pertengahan. Pada zaman pikiran rasionalis, teori itu mudah memperoleh pengikut karena dapat disesuaikan dengan sistem pikiran rasionalis. Dasarnya sebagai berikut:

1.      Hukum yang dilakukan dalam undang-undang ialah hasil pekerjaan badan legislatif yang menggunakan rasio, maka dari itu hanya peraturan perundang-undangan yang dapat menjadi hukum.

2.      Hukum kebiasaan tidak mungkin diterima sebagai hukum yang sungguh-sungguh, karena corak kebiasaan itu berlain-lainan menurut waktu dan tempat, jadi tidak dapat disesuaikan dengan kepercayaan pada suatu hukum alam yang sifatnya tetap dan tidak berubah dimana-mana juga pada waktu apapun (E. Utrecht, 1961:173-174).

Ajaran Legisme dapat terbaca dalam ketentuan pasal 15 AB sebagai berikut:

“Selain pengecualian-pengecualian yang telah ditetapkan tentang bumiputera atau orang-orang yang dipersamakan dengan mereka maka kebiasaan tidak menimbulkan hukum kecuali dan hanya apabila undang-undang menunjuk kepada itu.” 

b.      Penentang ajaran Legisme dan Positivisme Perundang-undangan

Penentang aliran Legisme dan Positivisme perundang-undangan muncul pertama kali di Jerman. Penentang tersebut adalah golongan sarjana hukum yang menentan ciptaan kodifikasi. Mereka tergabung dalam Historische Rechtsschule atau aliran kesejajaran hukum terhadap pendewaan rasio  di bawah pimpinan Friedrich Carl Von Savigny pada tahun 1779-1861 (E. Utrecht, 1996:177).

Dasar aliran ini yaitu:

1.       Hukum tidak dibuat (hasil penggunaan rasio), tetapi dikemukakan (didapatkan).

2.      Masyarakat dunia terbagi dalam banyak masyarakat lain. Masing-masing masyarakat mempunyai suatu volksgeist sendiri, yaitu suatu adat istiadat sendiri. Sumber satu-satunya dari hukum adalah kesadaran hukum rakyat yang menjadi dasar (hukum) kebiasaan maupun (hukum) undang-undang. Dengan demikian hukum kebiasaan dan hukum undang-undang kedudukannya sederajat.

3.      Yang menjadi sumber hukum satu-satunya dari hokum adalah kesadaran hukum rakyat. Kebiasaan dan undang-undang sebenarnya bukan sumber dari hukum, tetapi hanya satu kennzeichen (kenbron) yang membuktikan adanya hukum itu. Orang yang hidup dalam suatu masyarakat luas, tidak dapat menyatakan hukum. Menyatakan hukum menjadi pekerjaan para sarjana hukum. Sarjana hukum menjadi alat kesadaran hukum rakyat dan bertugas menyatakannya sehingga dapat diketahui dan dijalankan. Apa yang ditemukan, kemudian oleh sarjana hukum dicantumkan dalam undang-undang atau menjadi hukum kebiasaan. Sebetulnya undang-undang tidak lain dari “kebiasaan yang dicatat” (opgetekende gewoonte).

Ajaran Von Savigny tersebut telah dapat membuktikan bahwa undang-undang bukanlah satu-satunya sebagai sumber hukum dan kebiasaan mempunyai kedudukan yang sama dengan undang-undang. Oleh karena itu, kebiasaan dapat dijadikan sebagai sumber hukum.                

c.       Traktat

Di dala pergaulan dunia negara-negara selalu saling berhubungan dan mengikat perjanjian antara satu dengan lainnya. Perjanjian tersebut, berdasarkan asa Pacta Sunt Servanda, yang berarti bahwa perjanjian itu mengikat pihak-pihak yang mengadakannya, atau setiap perjanjian harus ditaati dan ditepati.

            Traktat adalah perjanjian yang diadakan di antara dua negara atau lebih dan sifatnya mengikat negara serta warga negara-warga negara dari negara-negara yang mengadakan perjanjian itu. Jika traktat hanya diadakan dua negara maka traktat tersebut dinamakan Traktat Bilateral, misalnya perjanjian internasional yang diadakan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Malaysia.

            Jika perjanjian diadakan oleh lebih dari dua negara atau banyak negara, disebut dengan Traktat Multilateral. Misalnya perjanjian internasional tentang pertahanan bersama negara-negara Eropa (NATO) yang diikuti oleh beberapa negara eropa. Bilamana suatu perjanjian Traktat Multilateral memberi kesempatan kepada negara-negara yang pada permulaan tidak turut mengadakannya, kemudian kemudian juga menjadi pihaknya, maka perjanjian itu merupakan perjanjian kolektif. Contoh dari traktat kolektif adalah Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa.

            Hukum antarnegara yang terdapat dalam traktat disebut hukum antarnegara yang Konvensionil. Syarat-syarat untuk adanya suatu traktat menurut anggapan klasik harus melalui empat fase yang berturut-turut yaitu sebagai berikut :

1.      Penetapan (sluiting) ialah penetapan isi perjanjian oleh utusan/delegasi pihak-pihak yang bersangkutan. Hasil penetapan itu diberi nama konsep traktat atau perjanjian konsep, yang juga diberi nama Sluitingsoor konde.

2.      Persetujuan masing-masing parlemen

Persetujuan ini dilakukan oleh masing-masing parlemen yang mengadakan perjanjian. Di Indonesia konsep traktat tersebut diberikan oleh Presiden kepada DPR untuk disetujui. Setelah disetujui oleh DPR dan dimasukkan dalam Undang-Undang persetujuan (goedkeurings wet), selanjutnya   konsep perjanjian disahkan oleh kepala negara (Presiden).

3.      Ratifikasi (Pengesah)

Pengesahan perjanjian konsep itu dilakukan oleh kepala negara dan disebut ratifikasi. Di indonesia hal itu dilakukan oleh Presiden maka perjanjian itu berlaku di wilayah Indonesia.

4.      Pelantikan dan Pengumuman

Pihak-pihak yang telah meratifikasi perjanjian dalam suatu upacara saling menyampaikan piagam perjanjian. Perbuatan itu dinamakan pengumuman atau pelantikan.

 

d.      Doktrin

Doktrina berasal dari kata doctor, yang dalam bahasa latin berarti : Guru, Doctrina berarti apa yang telah diajarkan guru atas dasar ilmu. Dari asal kata doktrina itu, dapatlah kita ambil pengertian bahwa yang dimaksud dengan doktrina adalah hukum yang diciptakan oleh orang-orang cerdik pandai. Atau dengan pengertian lain doktrina adalah pendapat-pendapat dari ahli hukum tentang suatu hal yang mengenai hukum.

            Pada zaman Romawi terdapat golongan para ahli hukum yang disebut dengan nama prudentes yang dapat berbuat tindakan berikut :

a.       Membuat ulasan (komentar) tentang hukum yang berlaku pada masanya.

b.      Berusaha mencari hakikat hukum.

c.       Berusaha memberi jawaban atas masalah-masalah yang hangat.

Di dalam lapangan hukum internasional, doktrina merupakan sumber hukum yang penting.

Hal itu tidak dapat disangkal lagi karena pada hakikatnya hukum internasional masih terdiri dari peraturan kebiasaan, dan perjanjian-perjanjian (conventions).

            Bahkan Piagam Mahkamah Internasional (Statute of the International Court of Justice) pada pasal 38 ayat (1) mengakui, bahkan dalam menimbang dan memutuskan suatu perselisihan dan dipergunakan beberapa pedoman yang antara lain sebagai berikut :

a.       Perjanjian-perjanjian internasional (International Conventions).

b.      Kebiasaan-kebiasaan internasional ( International Customs).

c.       Asas-asas hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab (the general principles of law recognised by civilised nations).

d.      Keputusan hakim (judical decisions) dan pendapat sarjana-sarjana hukum.

Kelima hal tersebut di atas dikatakan sebagai sumber hukum tata Negara dalam arti formil karena kesemuanya menunjuk kepada serangkaian proses dan sekaligus oragan yang membentuk[13]. Dengan demikian yang di sebut sumber hukum tata Negara formil bukan menunjuk pada jenisnya, seperti UUD, peraturan pemerintah dan lainnya.

 

C.                Sumber sumber Hukum Tata Negara Indonesia

Hamim S Attamimi mengemukakan pandangan dalam sumber hukum tata Negara Indonesia dengan pengertian jenis atau bentuk.  Dari pandangan ini, sumber Hukum Tata Negara Indonesia antara lain[14] :

a.      Undang-Undang Dasar 1945

UUD 1945 sebagai sumber hukum, yang merupakan hukum dasar tertulis yang mengatur masalah kenegaraan dan merupakan dasar ketentuan-ketentuan lainnya.

Bentuk bentuk peraturan perundang undangan Republik Indonesia menurut UUD 45 adalah  : undang undang dasar, ketetapan MPR, undang undang dan atau peraturan pemerintah pengganti undang  undang (perpu), peraturan pemerintah, keputusan presiden, peraturan pelaksanaan lainnya, seperti peratuatn menteri, intruksi menteri dan peraturan daerah.

b.      Ketetapan MPR

Dalam Pasal 3 UUD 1945 ditentukan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan Garis-Garis Besar Haluan Negara. Dengan istilah menetapkan tersebut maka orang berkesimpulan, bahwa produk hukum yang dibentuk oleh MPR disebut Ketetapan MPR.

Ketetapan MPR meliputi : ketetapan MPR yang menurut garis garis besar dalam bidang legislative dilaksanakan dengan undang undang dan ketetapan MPR yang memeuat garis garis besar dalam bidang ekskutif dilaksanakan dengan keputusan daerah.

c.       Peraturan pemerintah pengganti undang-undang

Dalam hal keadaan dan kepentigan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang undang (perpu). Peraturan pemerintah harus mendapat persetujuan dewan perwakilan rakyat dalam persidangan, namun jika tidak mendapat persetujuan, peraturan pemerintah itu haus dicabut.

Undang-undang mengandung dua pengertian, yaitu :

a. undang-undang dalam arti materiel : peraturan yang berlaku umum dan dibuat oleh penguasa, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

b. undang-undang dalam arti formal : keputusan tertulis yang dibentuk dalam arti formal sebagai sumber hukum dapat dilihat pada Pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 ayat (1) UUD 1945[15].

      d. Peraturan Pemerintah

Untuk melaksanakan undang-undang yang dibentuk oleh Presiden dengan DPR, oleh UUD 1945 kepada presiden diberikan kewenangan untuk menetapkan Peraturan Pemerintah guna melaksanakan undang-undang sebagaimana mestinya. Dalam hal ini berarti tidak mungkin bagi presiden menetapkan Peraturan Pemerintah sebelum ada undang-undangnya, sebaliknya suatu undang-undang tidak berlaku efektif tanpa adanya Peraturan Pemerintah.

d.      Keputusan Presiden

UUD 1945 menentukan Keputusan Presiden sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan. Bentuk peraturan ini baru dikenal tahun 1959 berdasarkan surat presiden no. 2262/HK/1959 yang ditujukan pada DPR, yakni sebagai peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh presiden untuk melaksanakan Penetapan Presiden. Kemudian melalui Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, Keputusan Presiden resmi ditetapkan sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan menurut UUD 1945. Keputusan Presiden berisi keputusan yang bersifat khusus (einmalig) adalah untuk melaksanakan UUD 1945, Ketetapan MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang eksekutif dan Peraturan Pemerintah.

e.       Peraturan pelaksana lainnya

Yang dimaksud dengan peraturan pelaksana lainnya adalah seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri dan lain-lainnya yang harus dengan tegas berdasarkan dan bersumber pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

f.       Convention (Konvensi Ketatanegaraan)

Konvensi Ketatanegaraan adalah perbuatan kehidupan ketatanegaraan yang dilakukan berulang-ulang sehingga ia diterima dan ditaati dalam praktek ketatanegaraan. Konvensi Ketatanegaraan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan undang-undang, karena diterima dan dijalankan, bahkan sering kebiasaan (konvensi) ketatanegaraan menggeser peraturan-peraturan hukum yang tertulis.

g.      Traktat

Traktat atau perjanjian yaitu perjanjian yang diadakan dua negara atau lebih. Kalau kita amati praktek perjanjian internasional bebrapa negara ada yang dilakukan 3 (tiga) tahapan, yakni perundingan (negotiation), penandatanganan (signature), dan pengesahan (ratification). Disamping itu ada pula yang dilakukan hanya dua tahapan, yakni perundingan (negotiation) dan penandatanganan (signature).

 

 

 

 

Kalam Akhir

Dari uraian analisis di atas, secara eksplisit dapat kita ambil sebuah konklusi yang nyata nyata sumber hukum tata Negara tidak semata mata berkutat pada hal hal yang terkodifikasi. Namun, sebagaimana yang di katakana donner adalah sesuatu yang bisa menjalani proses mempositifkan eksistensi hukum itu sendiri.

Kita bisa menjawab permasalahan permasalahan di atas dengan beberapa simpulan sebagai berikut :

-          Sumber hukum adalah segala sesuatu yang berupa tulisan, dokumen, naskah, dan lain lain, yang dipergunakan oleh suatu bagsa sebagai pedoman hidupnya pada masa tertentu. Perkataan sumber hukum sebenarnya mempunyai dua arti. Pertama : Sumber hukum sebagai penyebab adanya hukum. Kedua : Sumber hukum dalam arti bentuk perumusan dari kaidah kaidah hukum tata Negara yang terdapat di dalam masyarakat.

-          Yang menyebabkan adanya tinjauan pendikotomian sumber hukum secara materiil dan formil adalah ajaran yang memberikan ukuran atau kriteria apakah suatu ketentuan itu berlaku umum atau tidak. Jika ketentuan itu berlaku umum maka disebut hukum, jika jika tidak berlaku umum maka bukan merupakan hukum.

-          Yang termasuk sumber hukum tata Negara antara undang undang, yurisprudensi, traktat, kebiasaan, doktrina.

-          Dalam konteks Indonesia, yang termasuk sumber hukum tata Negara adalah perundang undangan, traktat, keputusan presiden, convention, dan lain  lain.

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

v  A.V, Dicey, An Introduction to the Study of the Law of the Constitution, Basingtoke London : Macmilan Press, tt.

v  Attamimi, Hamid S, Pancasila Cita Hukum Dalam Kehidupan Bangsa Indonesia, dalam Oetojo Oesman dan Alfian, Pancasila Sebagai Ideologi dalam berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara,Jakarta,  BP7 Pusat, 2002

v  Cipto Handoyo, B. Hestu, Hukum tata Negara Indonesia, Yogyakarta : Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2009

v  C. S. T Kansil, SH, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Edisi Revisi 2008, Jakarta : PT Rineka Cipta

v  Donner dalam Sugeng Istanto, Hand out Hukum tata Negara 1, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 1983

v  Kamus Besar Bahasa Indonesia,  Jakarta, 2009

v  Mahfud, Moh MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Yogyakarta : UII Press, 2008

v  R. Herlambang Perdana Wiratraman, UUD sebagai Sumber Utama Hukum Tata Negara, Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum unversitas Airlangga, 2008,  Surabaya

v  Soetami, A. Siti SH, Penngantar Tata Hukum Indonesia, Bandung : PT Refika Aditama, 2001

 



[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia,  Jakarta, 2008

[2] Donner dalam Sugeng Istanto, 1983, Hand out Hukum tata Negara 1, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, hlm 3

[3] Dicey, A.V, An Introduction to the Study of the Law of the Constitution, Basingtoke London : Macmilan Press, tt, hlm 87

[4] Dalam permasalahan ini, secara epistimologis bisa ditafsirkan sesuai dengan mufassirnya. Dapat ditinjau dari berbagai sudut, tergantung dari sisi dan sudut mana kita mempertanyakan. Bisa menurut ahli sejarah, ahli filsafat, Ahli agama, dan lain lain.  

[5] Hamid S. Attamimi, Pancasila Cita Hukum Dalam Kehidupan Bangsa Indonesia, dalam Oetojo Oesman dan Alfian, Pancasila Sebagai Ideologi dalam berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara,Jakarta,  BP7 Pusat, 2002,  hlm 71

[6] Pasal 2 undang Undang no 10 tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang undangan.

[7] Agar suatu undang undang mempunyai kekuatan  mengikat dan dapat berlaku, maka syaratnya harus di undangkan dalam Lembaran Negara dan yang mengundangkan adalah Sekretaris Negara. Setiap undang undang di beri tahun bentuknya dan diberi nomor. Bagi setiap undang undang yang telah di undangkan dalam lembaran Negara, berlaku asas fictie hukum yang artinya setiap orang telah mengetahui adanya suatu undang undang yang telah diundangkan.

[8] Konstitusi Indonesia adalah undang undang dasar 1945 yang disahkan sehari sesudah proklamasi yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945 bersamaan dengan pemilihan Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta masing masing sebagai presiden dan wakil presiden. Dalam memahami konstitusi, ada dua kelompok yang berbeda. Satu pihak memandang bahwa konstitusi sama dengan undang undang dasar, sedangkan dipihak yang lain memandang bahwa konstitusi berbeda dengan undang undang dasar. Perbedaaan pendapat ini muncul karena berlatar dari sudut pandang yang berbeda. Ada yang memandang dari konstitusi dari kacamata normative yuridis dan disisi lain memandang dari kacamata sosiologis empiris. Dari pandangan tersebut, kesimpulannya antara konstitusi dengan undang undang dasar mempunyai makna yang berbeda. Konstitusi memiliki makna yang lebih luas dari pada undang undang dasar. Undang undang dasar merupakan bagian dari konstitusi yang sifatnya tertulis. Konstitusi tidak hanya bermakna yuridis melainkan juga bermakna sosiologis politis.

[9] Asas asas perundang undangan yang kita kenal antara lain : a] undang undang tidak berlaku surut, b] undang undang tidak boleh di ganggu gugat, c] Undang undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi kedudukannya mempunyai kedudukan yang lebih tingggi pula, d] undang undang yang berlaku kemudian, membatalkan undang undang yang terdahulu yang mengatur materi yang sama (lex posteoriore derogate lex priori), e] menyampaikan undang undang yang bersifat umum (lex specislis derogate lex generalis).

[10] Dalam ilmu hukum maupun perundang undangan berlaku suatu asas yang berbunyi “Lex posterior derogatlegi anteriori”, artinya suatu hukum baru menggantikan hukum yang lama.

[11] C. S. T Kansil, SH, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Edisi Revisi 2008, Jakarta : PT Rineka Cipta, hlm 34

[12]  A. Siti Soetami, SH, Penngantar Tata Hukum Indonesia, Bandung : PT Refika Aditama, 2001, hlm 59

[13] B. Hestu cipto Handoyo, Hukum tata Negara Indonesia, Yogyakarta : Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2009, hlm 41

[14] R. Herlambang Perdana Wiratraman, UUD sebagai sumber utama Hukum tata Negara, Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum unversitas Airlangga, 2008,  Surabaya

[15] Moh Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Yogyakarta : UII Press, 2008

Tidak ada komentar: