Ngekrest blogspot.com
-

Jumat, 04 Juni 2010

aplikasi wukuf dan puasa arafah

PENDAHULUAN

                Melaksanakan ibadah haji merupakan salah satu rukun islam yang harus dipenuhi oleh umat muslim. Namun dalam pelaksanaannya, terdapat keringanan yang diberikan Allah bagi umat muslim. Hanya orang-orang yang mampu, baik secara materi maupun rohani yang diwajikan untuk melaksanakan ibadah haji. Bagi orang-orang yang tidak mampu, tidak perlu memaksakan diri untuk melaksanakan ibadah haji.

            Salah satu rukun dari badah haji adalah wukuf di Padang Arafah. Bahkan, Rasulullah menyatakan bahwa  wukuf di Padang Arafah merupakan puncak dari pelaksanaan ibadah haji. Dan bagi yang tidak melaksanakan ibadah haji, disunahkan untuk melakukan puasa, yang kita kenal dengan istilah Puasa Arafah.

            Puasa Arafah adalah puasa yang dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah, seiring dengan dilaksanakannya wukuf di Padang Arafah oleh umat muslim yang melaksanakan ibadah haji. Puasa Arafah ini disunnahkan untuk umat islam yang tidak melaksanakan ibadah haji. Sedangkan bagi yang melaksanakan ibadah haji, disunnahkan untuk tidak melaksanakan (ifthar).

                Puasa Arafah adalah puasa sunnah yang dilakukan pada hari Arafah. Yang menjadi permasalahannya adalah Apakah hari Arafah didasarkan atas penetapan pemerintah Saudi Arabia, terkait dengan pelaksanaan wukuf di Arafah, ataukah berdasarkan ketetapan pemerintah setempat?

            Permasalahan ini sering muncul dari berbagai pihak ketika menghadapi hari Arofah. Mungkin masalah ini sudah tidak asing lagi bagi kita, warga negara Indonesia, bahkan di luar negeri khususnya Arab Saudi. mengenai persoalan yang selalu muncul di setiap manakala menjelang hari Arafah ketika para jama’ah haji wukuf di Padang Arafah, yaitu mengenai perbedaan di dalam penentuan penentuan pelaksaan puasa Arafah. Dalam akhir-akhir ini, fenomena ini sudah membuat gempar di tengah-tengah kehidupan masyarakat, sehingga perbedaan itu ucap kali menimbulkan kesan negatif di antara umat islam, karena pemerintah dianggap tidak tepat dalam mengambil keputusan. Dan juga fenomena ini mengundang perdebatan di antara kalangan masyarakat, sehingga nyaris mengancam persatuan dan kesatuan umat islam.

            Dengan makalah ini kami akan berusaha membahas tentang pendapat-pendapat ulama’ mengenai permasalahan pelaksanaan puasa Arafah, Apakah puasa Arafah dilaksanakan megikuti penetapan pemerintah Saudi Arabia, ataukah berdasarkan ketetapan pemerintah setempat?

RUMUSAN MASALAH

            Berdasarkan pendahuluan di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan utama menurut kami dalam makalah ini adalah bagaimana pendapat para ulama’ tentang pelaksanaan puasa Arafah dan penyelesaiannya. Pokok masalah tersebut bisa dirinci dalam beberapa sub masalah sebagai berikut:

  1. Ibadah apa saja yang ada pada tanggal 9 Dzul Hijjah?
  2. Bagaimana pendapat para ulama’ terhadap peaplikasian puasa arafah dan wukuf di padang arafah?
  3. Bagaimana keberlakuan mathla’ itu sendiri?

PEMBAHASAN

A.    Ibadah Tanggal 9 Dzul Hijjah

Penentuan awal bulan Dzul Hijjah termasuk salah satu bulan yang dalam penentuannya sering mengundang polemik di antara kalangan umat Islam, hingga nyaris mengancam ukhwah islamiyah. Hal ini akibat dari sikap kehati-hatian umat Islam, karena di dalamnya ada prosesi ibadah yang apabila dilakukan pada hari yang salah, maka hukumnya bisa tidak sah ibadah tersebut bahkan bisa sampai menjadi haram.

Wukuf di Padang Arafah

Bagi yang menunaikan ibadah haji, dalam bulan Dzul Hijjah terdapat penentuan waktu puncak prosesi ibadah haji, yakni Wukuf di Padang Arafah pada tanggal 9 Dzul Hijjah. Wukuf di Padang Arafah, secara fiqih dimaksudkan hadir dan berada di Arafah pada waktu tertentu, yakni antara setelah matahari tergelincir ke barat (masuk waktu dhuhur) pada tanggal 9 Dzul Hijjah sampai terbit fajar di malam tanggal 10 Dzul Hijjah, yang lebih utama sampai matahari terbenam.

Wukuf di Padang Arafah adalah puncak amalan ibadah haji. Tanpa wukuf di Padang Arafah secara sah, maka tidak sah hajinya. Diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Ya’mur Al-daily telah mendengar Rasulullah Shallallaaahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

(Puncak) Ibadah haji adalah Arafah, siapapun yang sampai di Arafah sebelum terbit fajar, maka dia telah mendapati haji” (Musnad Al-Humaidy).[1]

Dari hadits tersebut dapat diambil pemahaman bahwa sabda Rasulullah Shallallaaahu ‘Alaihi wa Sallam “ Ibadah haji adalah Arafah”, merupakan hukum qath’i (pasti) bahwa tidak ada haji (yang Sah) bagi orang yang tidak berwukuf di Arafah, pada siang hari maupun malam hari. Akan tetapi , bukan berarti bahwa Arafah itu adalah ibadah haji secara keseluruhan. Dan sabda Rasulullah Shallallaaahu ‘Alaihi wa Sallam “ Siapapun yang sampai di Arafah sebelum terbit fajar, maka dia telah mendapati haji ”, maksudnya adalah fajar hari Nahar (Idul Adha).

Bagi oarang yang menunaikan ibadah haji tidak melakukan wukuf di Padang Arafah pada waktu yang telah ditentukan dalam hadits tersebut, meskipun dalam keadan sakit, ibadah hajinya tidak sah dan harus mengulang pada tahun berikutnya.

Puasa Arafah

Bertepatan dengan tanggal 9 Dzul Hijjah, bagi umat Islam seluruh dunia yang tidak sedang manunaikan ibadah haji[2], disunahkan berpuasa Arafah pada hari tersebut. Hal ini sebagaimana hadits Rasulullah Shallallaaahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: 

أنبأ زكريا بن يحى قال أنبأ شيبان قال حدثنا أبو عوانة عن الحر بن صياح عن هنيدة بن خالد عن امرته قالت حدثتنى بعض نساء النبى صلى الله عليه و سلم أن النبى صلى الله عليه و سلم كان يصوم يوم عشوراء وتسعا من ذالحجة و ثلثة أيام من الشهر أول اثنين من الشهر و خميسين.[3]

Puasa hari Arafah hanya di sunnahkan bagi yang tidak melaksanakn ibadah haji di Arafah. Hal ini dilandasi oleh beberapa riwayat, salah satunya adalah :

حدثنا قتيبه و أحمد بن عبدة الضبى قالا حدثنا حماد بن زيد عن غيلان بن جرير عن عبدالله بن معبد الزمانى عن أبى قتاده أن النبى صلى الله عليه و سلم قال صيام يوم عرفة إحتسب على الله أن يكفر السنة التى قبله والسنة التى بعده قال و فى الباب عنا أبى سعيد قال أبو عيسى حديث أبى قتادة حديث حسن و قد إستحب أهل العلم صيام يوم عرفة إلا بعرفة. [4]

B.     Aplikasi Wukuf dan Puasa Arafah

Berdasarkan keterangan di atas, kemudin timbul pertanyaan “ Apakah puasa Arafah di seluruh dunia harus bersamaan waktunya dengan pelaksanaan wukuf di Padang Arafah yang nota bene hanya dilaksanakan oleh umat Islam yang sedang menunaikan ibadah haji, ataukah berdasarkan ketetapan pemerintah setempat?”

Pertanyaan tersebut muncul karena seringnya terjadi perbedaan tanggal 9 Dzul Hijjah (sebagai waktu pelaksanaan wukuf di padanf Arafah dan puasa Arafah) yang ditetapkan oleh pemerintah Arab Saudi dengan ketetapan tanggal 9 Dzul hijjah yang ditetapkan oleh beberapa negara di belahan Dunia.

Mangikuti Makkah atau Ketetapan Pemerintah Setempat?

Terkait dengan permasalahan tersebut, sebenarnya sudah lama terjadi khilafiyah: Apakah mengikuti Makkah tau mengikuti teori mathla’nya masing-masing?

1.      Ada yang berpendapat bahwqa hari Arafah, adhul adha dan hari tasyri’ harus didasarkan pada mathla’ Makkah. Sebagaiman yang diikuti oleh Hasbi Ash-Shidiqi yang mendukung pendapat Abu Zahrah yang menyarankan Makkah dijadikan sebagai pedoman. Alasannya di Makkah terdapat Ka’bah yang menjadi kiblat dalam mengerjakan shalat dan juga terdapat Bait Al-Haram, padang Arafah, Shafa dan Marwa yang sangat berperan dalam menunaikan ibadah haji[5]. Dan juga sebagaimana yang diikuti oleh sebuah Majlis Fatwa yang ada di Indonesia, yakni Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia.

Sebenarnya sikap Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia mengenai penetapan awal bulan Ramadlan, Idul Fitri dan Idul Adha sejak didirikan oleh Bapak DR. Mohammad Natsir sudah jelas, bahwa untuk menentukan awal bulan Ramadlan dan Idul Fitri,  Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia menggunakan Metode Ru;yah Akhlul Balad (Ru’yah Lokal atau nasional) atau wilayatul hukmi, sesuai dengan pandangan Jumhur Ulama’.

Adapun mengenai Idul Adha, Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia mendasarinya berdasarkan wukuf di Arafah yang dilaksanakan pada tanggal 9 Dzul Hjjah. Dengan begitu, umat islam yang tidak sedang menunaikan ibadah haji disunahkan untuk berpuasa Arafah bersamanan waktunya dengan pelaksanaan wukuf  di Padang Arafah yang nota bene hanya dilaksanakan oleh umat islamyang sedang menunaikan ibadah haji.

Hal ini sesuai dengan telaah teks-teks Al-Qur’an, Hadits, pertimbangan-pertimbangan syar’i dan fatwa Syeikh Al-Azhar DR. Abdul Halim Mahmud No. 1/6/1/5/45 tanggal 25 juli 1975 yang diperkuat oleh Rabithah Alam islami. Syeikh Al-Azhar dalam Press Release tahun 1975 pernah mengatakan” Dalm hal menetukan permulaan Dzul Hijjah, sebaiknya semua negara islam berpedoman kepada hasil ru’yah Pemerintah Saudi Arabia, agar kaum muslim satu pendapat dalam persoalan penetapan wukuf di Arafah” (Sumber Masalah An-Nadwah Mekkah 20 Desember 1975).

Dan juga, pada konferensi Islam Internasional di Istambul, Turki tahun 1978 juga disepakati perlunya penetapan Makkah Al Mukarramah sebagai kiblat penentuan dari wukuf dan Idul Adha, dimana antara wukuf dan Idul Adha itu adalah suatu urutan yang tidak terpisahkan.

Berdasarkan hal tersebut, Majlis Fatwa Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia memutuskan bahwa puasa Arafah dilaksanakan pada waktu jamaah haji wukuf di padang Arafah.[6]

2.      Sedangkan pendapat yang lain mengatakan bahwa penetuan hari Arafah, Idul Adha dan hari Tasyri’ dengan teori mathla’, di mana masing-masing negeri (Islam) berlaku teori mathla’ setempat[7]. Atas dasar itu maka penentuan hari Arafah, Idul Adha dan hari Tasyri’ di Indonesia misalnya tidak dibenarkan mengikuti Negara lainyang berbeda mathla’nya.[8] Pendapat ini yang lebih Rajih dan yang banyak diikuti para kalangan para Ulama’.

Melihat permasalahan tersebut, bahwa disunahkan puasa Arafah adalah terkait dengan tanggal 9 Dzul Hijjah, tidak ada yang menunjukkan harus berketetapan dengan waktu pelaksanaan wukuf di padang Arafah.[9]

Dari hadits-hadits tersebut juga dapat difahami bahwa wukuf di padang Arafah merupakan suatu ibadah yang terikat waktu yakni setelah matahari tergelincir ke barat (masuk waktu dhuhur) pada tanggal 9 Dzul Hijjah sampai terbit fajar di malam tanggal 10 Dzul Hijjah, yang lebih utama sampai matahari terbenam dan terikat tempat, yakni hanya di padand Arafah. Sedangkan ibadah puasa sunah Arafah dan shalat idul adha adalah ibadah yang hanya terikat waktu (dari mulai imsa’ sampai ifthar), tidak terikat tempat berada di muka bumi.

Kemudian karena masalah puasa Arafah-wukuf di Arafah (9 Dzul Hijjah) dan idul adha (10 Dzulhijjah) merupakan ibadah yang penentuan waktunya berdasarkan kombinasi antara perhitungan perjalanan bulan dan bumi. Artinya, penentuan harinya berdasarkan perhitungan perjalanan bulan dalam melakukan revolusi (mengelilingi) bumi. Tapi waktu tapatnya (jam dan menit) prosesi ibadah adalah berdasarkan perhitungan gerakan bumi pada sumbunya, dan karenanya memberikan efek gerakan semu matahari yang seolah-olah mengelilingi bumi. Sehingga faktor geografislah sebenarnya yang menyebabkan adanya perbedaan dimulainya sebuah bulan qamariyah[10].

Maka tidak rasional jika penentuan puasa Arafah-wukuf di padang Arafah (9tanggal 9 Dzul Hijjah) dan idul Adha (tanggal 10 Dzul Hijjah) denga berkiblat pada Makkah denga tanpa mempertimbangkan jarak letak geografis suetu negara yang berkiblat, termasuk negara indonesia. Sehingga yang rasional untuk penentuan puasa Arafah-wukuf di Arafah dan Idul Adha adalah sesuai dengan perhitungan pad mathla’nya masing-masing.

Mengenai masalah tersebut,Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin pernah memberi fatwa tentang masalah ini di dalam kitab Majmu’ Fatawa wa Rasaail Syeikh Muhammad bin Sholih Al Utsmani sebagai berikut:

نحن هنا نعاني بخصوص صيام شهر رمضان المبارك وصيام يوم عرفة ، وقد انقسم الأخوة هناك إلى ثلاثة أقسام :

قسم يقول : نصوم مع المملكة ونفطر مع المملكة .

قسم يقول نصوم مع الدولة التي نحن فيها ونفطر معهم .

قسم يقول : نصوم مع الدولة التي نحن فيها رمضان ، أما يوم عرفة فمع المملكة .

وعليه آمل من فضيلتكم الإجابة الشافية والمفصلة لصيام شهر رمضان المبارك ، ويوم عرفة مع الإشارة إلى أن دولة . . . وطوال الخمس سنوات الماضية لم يحدث وأن وافقت المملكة في الصيام لا في شهر رمضان ولا في يوم عرفة ، حيث إنه يبدأ صيام شهر رمضان . بعد إعلانه في المملكة بيوم أو يومين ، وأحيانا ثلاثة أيام .

فأجاب :

اختلف العلماء رحمهم الله فيما إذا رؤي الهلال في مكان من بلاد المسلمين دون غيره ، هل يلزم جميع المسلمين العمل به ، أم لا يلزم إلا من رأوه ومن وافقهم في المطالع ، أو من رأوه ، ومن كان معهم تحت ولاية واحدة ، على أقوال متعددة ، وفيه خلاف آخر .

والراجح أنه يرجع إلى أهل المعرفة ، فإن اتفقت مطالع الهلال في البلدين صارا كالبلد الواحد ، فإذا رؤي في أحدهما ثبت حكمه في الآخر ، أما إذا اختلفت المطالع فلكل بلد حكم نفسه ، وهذا اختيار شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله تعالى وهو ظاهر الكتاب والسنة ومقتضى القياس :

أما الكتاب فقد قال الله تعالى : ( فمن شهد منكم الشهر فليصمه ومن كان مريضا أو على سفر فعدة من أيام أخر يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر ولتكملوا العدة ولتكبروا الله على ما هداكم ولعلكم تشكرون ) فمفهوم الآية : أن من لم يشهده لم يلزمه الصوم .

وأما السنة فقد قال النبي صلى الله عليه وسلم ( إذا رأيتموه فصوموا ، وإذا رأيتموه فأفطروا ) مفهوم الحديث إذا لم نره لم يلزم الصوم ولا الفطر .

وأما القياس فلأن الإمساك والإفطار يعتبران في كل بلد وحده وما وافقه في المطالع والمغارب ، وهذا محل إجماع ، فترى أهل شرق آسيا يمسكون قبل أهل غربها ويفطرون قبلهم ، لأن الفجر يطلع على أولئك قبل هؤلاء ، وكذلك الشمس تغرب على أولئك قبل هؤلاء ، وإذا كان قد ثبت هذا في الإمساك والإفطار اليومي فليكن كذلك في الصوم والإفطار الشهري ولا فرق .

ولكن إذا كان البلدان تحت حكم واحد وأَمَرَ حاكمُ البلاد بالصوم ، أو الفطر وجب امتثال أمره ؛ لأن المسألة خلافية ، وحكم الحاكم يرفع الخلاف .

وبناء على هذا صوموا وأفطروا كما يصوم ويفطر أهل البلد الذي أنتم فيه سواء وافق بلدكم الأصلي أو خالفه ، وكذلك يوم عرفة اتبعوا البلد الذي أنتم فيه

Kami khususnya dalam puasa Ramadhan mubarok dan puasa hari Arofah, di antara saudara-saudara kami di sini terpecah menjadi tiga pendapat.

Pendapat pertama: kami berpuasa bersama Saudi Arabia dan juga berhari Raya bersama Saudi Arabia.

Pendapat kedua: kami berpuasa bersama negeri kami tinggal dan juga berhari raya bersama negeri kami.

Pendapat ketiga: kami berpuasa Ramadhan bersama negeri kami tinggal, namun untuk puasa Arofah kami mengikuti Saudi Arabia.

Kami mengharapkan jawaban yang memuaskan mengenai puasa bulan Ramadhan dan puasa Hari Arofah. Kami memberikan sedikit informasi bahwa lima tahun belakangan ini, kami tidak pernah bersamaan dengan Saudi Arabia ketika melaksanakan puasa Ramadhan dan puasa Arofah. Biasanya kami di negeri ini memulai puasa Ramadhan dan puasa Arofah setelah pengumuman di Saudi Arabia. Kami biasa telat satu atau dua hari dari Saudi, bahkan terkadang sampai tiga hari.

Syaikh Utsaimin menjawab: Ulama berbeda pandangan mengenai apakah jika hilal tampak di suatu negeri melazimkan negeri lainnya mengikuti beramal dengannya.Ataukah hanya bagi yang melihat hilal atau bagi negeri yang satu mathla’ dengannya atau wilayah yang satu pemerintahan.Disini terjadi banyak sudut pandang yang berbeda.

Yang Rajih (unggul) ,bahwasannya hal ini dikembalikan kepada ahli ilmu.Jika dua negeri bertepatan atau satu mathla’ maka dihitung seperti satu negeri.Jika salahsatunya melihat, maka berlaku hukum yang sama bagi negeri yang satunya tadi.Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu taimiyah.Dan inilah yang sesuai dengan kitab dan sunnah serta qiyas.

            Adapun dalil Al-Qur’an yaitu firman Allah SWT:

فمن شهد منكم الشهر فليصمه ومن كان مريضا أو على سفر فعدة من أيام أخر يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر ولتكملوا العدة ولتكبروا الله على ما هداكم ولعلكم تشكرون  (البقرة : 185)

“Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Baqarah: 185). Dipahami dari ayat ini, barang siapa yang tidak melihat hilal, maka ia tidak diharuskan untuk puasa.

Adapun dalil dari As Sunnah, sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إذا رأيتموه فصوموا ، وإذا رأيتموه فأفطروا

“Jika kalian melihat hilal Ramadhan, maka berpuasalah. Jika kalian melihat hilal Syawal, maka berhari rayalah.” (HR. Bukhari no. 1900 dan Muslim no. 1080). Dipahami dari hadits ini, siapa saja yang tidak menyaksikan hilal, maka ia tidak punya kewajiban puasa dan tidak punya keharusan untuk berhari raya.

Adapun dalil qiyas, mulai berpuasa dan berbuka puasa hanya berlaku untuk negeri itu sendiri dan negeri yang terbit dan tenggelam mataharinya sama. Ini adalah hal yang disepakati. Engkau dapat saksikan bahwa kaum muslimin di negeri timur sana -yaitu Asia-, mulai berpuasa sebelum kaum muslimin yang berada di sebelah barat dunia, begitu pula dengan buka puasanya. Hal ini terjadi karena fajar di negeri timur terbit lebih dulu dari negeri barat. Begitu pula dengan tenggelamnya matahari lebih dulu di negeri timur daripada negeri barat. Jika bisa terjadi perbedaan sehari-hari dalam hal mulai puasa dan berbuka puasa, maka begitu pula hal ini bisa terjadi dalam hal mulai berpuasa di awal bulan dan mulai berhari raya. Keduanya tidak ada bedanya.

Akan tetapi yang perlu jadi perhatian, jika dua negeri yang sama dalam matholi’ (tempat terbitnya hilal), telah diputuskan oleh masing-masing penguasa untuk mulai puasa atau berhari raya, maka wajib mengikuti keputusan penguasa di negeri masing-masing. Masalah ini adalah masalah khilafiyah, sehingga keputusan penguasalah yang akan menyelesaikan perselisihan yang ada.

Berdasarkan hal ini, hendaklah kalian berpuasa dan berhari raya sebagaimana puasa dan hari raya yang dilakukan di negeri kalian (yaitu mengikuti keputusan penguasa). Meskipun memulai puasa atau berpuasa berbeda dengan negeri lainnya. Begitu pula dalam masalah puasa Arofah, hendaklah kalian mengikuti penentuan hilal di negeri kalian.[11]

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin juga mendapat pertanyaan sebagai berikut, “Jika terdapat perbedaan tentang penetapan hari Arofah disebabkan perbedaan mathla’ (tempat terbit bulan) hilal karena pengaruh perbedaan daerah. Apakah kami berpuasa mengikuti ru’yah negeri yang kami tinggali ataukah mengikuti ru’yah Haromain (dua tanah suci)?”

Adapun jawaban Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin sebagai berikut:

“Permasalahan ini adalah turunan dari perselisihan ulama apakah hilal untuk seluruh dunia itu satu ataukah berbeda-beda mengikuti perbedaan daerah. Pendapat yang benar, hilal itu berbeda-beda mengikuti perbedaan daerah.

Misalnya di Makkah terlihat hilal sehingga hari ini adalah tanggal 9 Dzulhijjah. Sedangkan di negara lain, hilal Dzulhijjah telah terlihat sehari sebelum ru’yah Makkah sehingga tanggal 9 Dzulhijjah di Makkah adalah tanggal 10 Dzulhijjah di negara tersebut. Tidak boleh bagi penduduk Negara tersebut untuk berpuasa Arofah pada hari ini karena hari ini adalah hari Iedul Adha di negara mereka.

Demikian pula, jika kemunculan hilal Dzulhijjah di negara itu selang satu hari setelah ru’yah di Makkah sehingga tanggal 9 Dzulhijjah di Makkah itu baru tanggal 8 Dzulhijjah di negara tersebut. Penduduk negara tersebut berpuasa Arofah pada tanggal 9 Dzulhijjah menurut mereka meski hari tersebut bertepatan dengan tanggal 10 Dzulhijjah di Mekkah.

Inilah pendapat yang paling kuat dalam masalah ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian melihat hilal Ramadhan hendaklah kalian berpuasa dan jika kalian melihat hilal Syawal hendaknya kalian berhari raya” (HR Bukhari dan Muslim).

Orang-orang yang di daerah mereka hilal tidak terlihat maka mereka tidak termasuk orang yang melihatnya.

Sebagaimana manusia bersepakat bahwa terbitnya fajar serta tenggelamnya matahari itu mengikuti daerahnya masing-masing, demikian pula penetapan bulan itu sebagaimana penetapan waktu harian (yaitu mengikuti daerahnya masing-masing)”.[12]

Dalam fatwa Syeikh Abdul Aziz bin Baz disebutkan bahwa setiap muslim hendaklah berpuasa bersama dengan negara tempat ia tinggal dan berbuka dengannya. Sesuai dengan sabda Nabi saw, “ Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasan dan berbuka kalian adalah hari kalian berbuka, dan hari penyembelihan kalian adalah hari ketika kalian semua menyembelih”.[13]

Dan juga dalam fatwa Syeikh Shalih Al-Fauzan, beluai mengtatakan bahwa setiap muslim berpuasa dan berbuka bersama kaum muslimin di negaranya. Hendaklah muslimin memperhatikan ru’yah hilal di negara tempat tinggal mereka, dan hendaknya tidak berpuasa dengan ru’yah negara yang jauh dari dari negara mereka kerena mathla’ berbeda . jika misalkan sebagiab muslimin berada di negara yang bukan islam dan di sekitar mereka tidak ada yang memperhatikan ru’yah hilal maka dalam hal ini tidak mengapa mereka berpuasa dengan kerajaan Arab Saudi.[14]

C.    Keberlakuan Mathla’

Berdasarkan uraian diatas, kita bisa mengetahui bahwa yang menjadi pokok perbedaan di antara para ulama’ adalah mengenai masalah keberlakuan mathla’.

Apa mathla’ itu sendiri?. Mathla’ adalah tempat kemunculan hilal (bulan sabit yaitu bulan tanggal 1 hijriah) di suatu wilayah (negara). Saat kemunculan hilal di masing-masing wilayah berbeda-beda seiring dengan perjalanan bulan dan metahari serta pergantian siang dan malam.hal ini telah disepakati dan tidak ada perselisihan dikalangan para ilmuwan yang berkompeten didalamnya.[15]

Perbedaan semacam ini kemudian memunculkan pertanyaan, apakah ru’yah (melihat hilal di atas ufuk barat) oleeh sebagian muslim di suatu wilayah berlaku untuk semua kaum muslimin di seluruh dunia yang hari dan malamnya sama yang hanya terpaut beberapa jam, sehingga puasa dan hari rayanya sama, ataukah masing-masing negara melakukan ru’yah sendiri-sendiri, sehingga puasa dan hari rayanya berbeda-beda antara nagara satu dengan negara yang lain?

Selama ini ada empat pendapat tentang keberlakuan mathla’[16]:

1.      Keberlakuan ru’yah hanya sejauh jarak di mana qasar shalat diizinkan[17].

2.      Keberlakuan ru’yah sejauh 8 derajat bujur, [18]seperti yang dianut oleh negara Brunaei Darussalam.

3.      Seperti yang dianut Indonesia yakni mathla’ sejauh wilayah hukum (wilayat Al-Hukmi), sehingga di bagian mana pun dari sabang sampai merauke ru’yah dilakukan, hasilnya dianggap berlaku untuk seluruh Indonesia[19].

4.      Pendapat pengikut Imam Hanafi yang membatasi lebih jauh lagi, yakni keberlakuan suatu ru’yah dapat diperluas ke seluruh dunia[20].

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

An-Nasa’i, Sunan Al-Kubra Lin-Nasa’i, Beirut: Darul Kutub, 1991.

An-Nawawy, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhanndab, Beirut: Darul Kutub, 1994.

Atiq bin Ghaits Al-Biladi, Mukjiyat kota Makkah, Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2007.

Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Mesir, Mustafa Babil Halabi, 1942.

Izzuddin,  Ahmad, Fiqih Hisab Ru’yah, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007.

Izzuddin, Ahmad, “Awal Akhir Ramadlan yang Kompromistis”, Suara Merdeka, 11 Desember 1999.

Izzuddin, Ahmad, Makalah “Antara Wukuf dan Arafah” (Pengertian dan Aplikasinya, ketika disampaikan dalam Temu Kerja dan Evaluasi Hisab Rukyah tahun 2008, di Bogor, 27-29 Februari 2008.

Muhammad Syaththa Al-Dimyathi, I’anah Ath-Thalibin, juz II, kairo: Bairut, Dar Al-Kutub Al-Arabiyah,t.t.

Muslim, Shahih Muslim, Kairo, Darul Fikr, 1981.

Shidiqi , Nourouzzaman, Fiqih Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, Majmu’ Fatawa wa Rosail, Darul Wathon, Darul Tsaroya, 1413 H.

Syamsuddin Muhammad bin Muhammad Al-Khatib As-Sarbini, Mughni Al-Muhtaj, Beirut: Darul Kutub, 1994.

Taufik, “Peranan Hisab dan Ru’yah dalam Penentuan Awal Bulan Qamariyah”, Orientasi Tenaga Teknisi Hisab Ru’yah oleh PTA Jawa Tengah, 1997.

Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, Mesir, Mustafa Babil Halabi, 1937.

Abu Yusuf Al-Atsary, Pilih Hisab atau Ru’yah?, Solo: PUSTAKA DARUL MUSLIM.t,t.

http://www.dewandakwah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=113&Itemid=51

 

 



[1]  Atiq bin Ghaits Al-Biladi, Mukjiyat kota Makkah, Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2007, h. 191.

[2]  “Adapun bagi orang yang melaksanakan haji di ‘Arafah, berkata Asy-Syafi’iy dan murid-muridnya dalam kitab Al-Mukhtashar : ‘Disunnahkan baginya untuk berbuka berdasarkan hadits Ummul- Fadhl. Dan berkata sekelompok dari shahabat kami : Dimakruhkan baginya untuk berpuasa”, Al-Majmu’, 6/380. Namun bila ia kuat melaksanakannya atau saat berada di musim dingin sehingga tidak membuat lemah, maka kemakruhan itu pun hilang” ,Al-Mughniy, 3/58.

[3] As-sunan Al-Kubra lin-Nasa’i, juz. 2, h.123

[4] Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, Mesir, Mustafa Babil Halabi, 1937

[5] Baca Nourouzzaman Shidiqi, Fiqih Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997, h. 198-200.

[6]http://www.dewandakwah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=113&Itemid=51

[7] Dimaksudkan konsep mathla’ fi wilayah al-hukmi, selengkapnya baca Muhammad bin Shalih Al-Utaimin, fatawa ahkam Ash-Shiam, h. 405.

[8] Selengkapnya baca makalah H. Ahmad Izzuddin, Antara Wukuf dan Arafah (pengertian dan aplikasinya), h. 6.

[9] Op.cit, makalah H. Ahmad Izzuddin, h. 9

[10] Harus diingat bahwa bumi melakukan rotasi berlawanan dengan arah jarum jam atau dari barat ke timur itulah sebabnya kita melihat seolah lah matahri mengelilingi bumi dari tumur ke barat. Kecepatan sudut rotasi bumi (sebesar 15 derajat busur per jam)jauh lebih besar dari pada kecepatan sudut revolusi bulan yang hany sebesar 33’(menit busur) per jam. Dengan berjalan ke arah barat, berarti kita seolah-olah memperkecil perbedaan kecepatan sudut rotasi bumi dengan kecepatan sudut revolusi bulan, sehingga peluang untuk melihat hilal semakin besar. Sebaliknya, dengan berjalan ke arah timur, kita malah memprbesar perbedaan kecepatan sudut itu.

[11]Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, Majmu’Fatawa wa Rosaail, 19/24-25

[12] Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, Majmu’Fatawa wa Rosaail, 20/ 47-48.             

[13] Abu Yusuf Al-Atsary, Pilih Hisab atau Ru’yah?, Solo: PUSTAKA DARUL MUSLIM. H.135.

 

[14] Abu Yusuf Al-Atsary, Pilih Hisab atau Ru’yah?, Solo: PUSTAKA DARUL MUSLIM. H.135

[15] Abu Yusuf Al-Atsary, Pilih Hisab atau Ru’yah?, Solo: PUSTAKA DARUL MUSLIM. H.136.

[16] H. Ahmad Izzuddin, Fiqih Hisab Ru’yah, Jakarta: Penerbit Erlangga, h. 6

[17] Dalam redaksi ghalibiyah sering diungkapkan dalam kitab kuning denga istilah 24 farsah. Lihat Muhammad Syaththa Al-Dimyathi, I’anah Ath-Thalibin, juz II, kairo: Bairut, Dar Al-Kutub Al-Arabiyah,t.t, h. 219.

[18] Menurut Taufik, sejauh 8 Derajat, baca makalah Taufik, “Peranan Hisab dan Ru’yah dalam Penentuan Awal Bulan Qamariyah”, Orientasi Tenaga Teknisi Hisab Ru’yah oleh PTA Jawa Tengah, 1997.

[19] Baca H. Ahmad Izzuddin, Awal Akhir Ramadlan yang Kompromikan”, Suara Merdeka, 11 Desember 1999.

[20] Sebagaiman yang diikuti oleh Hizbut Tahrir di Indonesia, baca Suara Merdeka, 5 Januari 2000.

Tidak ada komentar: